» » KONFLIK LAHAN KONSESI HUTAN PASCA UU CIPTA KERJA: ANTARA PENGAMPUNAN DAN PENEGAKAN HUKUM

 Sumber Foto: Islami.co

RISDEM, Bandung – Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), berbagai polemik muncul terkait pengelolaan kawasan hutan di Indonesia. Salah satu isu krusial adalah pemberian kesempatan bagi pelaku usaha yang telah beroperasi di dalam kawasan hutan tanpa izin untuk mengurus perizinan mereka dalam jangka waktu tertentu. Hal ini diatur dalam Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja, yang memberikan waktu tiga tahun bagi pelaku usaha untuk menyelesaikan persyaratan perizinan, dengan ancaman sanksi administratif jika tidak dipenuhi.

Namun, kebijakan ini menuai kritik dari berbagai pihak. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai bahwa Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja memberikan peluang pengampunan terhadap pelaku kejahatan kehutanan. Mereka menyoroti langkah cepat pemerintah dalam mengidentifikasi dan memberikan kesempatan legalisasi kepada perusahaan-perusahaan yang sebelumnya beroperasi tanpa izin di kawasan hutan.

Salah satu contoh kasus adalah PT Hijau Alam Nusantara (HAN) di Jambi. Analisis Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa antara 2017 hingga 2021, PT HAN menyebabkan deforestasi seluas 3.732,9 hektare. FWI dan Walhi Jambi mendorong pemerintah untuk mencabut izin PT HAN dan mengembalikan pengelolaan lahan kepada masyarakat setempat.

Di sisi lain, pemerintah melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, menyatakan bahwa UU Cipta Kerja bertujuan untuk menyelesaikan konflik tenurial yang telah berlangsung lama, termasuk mencegah kriminalisasi masyarakat adat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Siti menegaskan bahwa pendekatan yang digunakan adalah restorative justice, dengan pidana sebagai upaya terakhir.

Namun, implementasi UU Cipta Kerja juga menghadapi tantangan hukum. Pada Oktober 2024, PT Tara Bintang Nusa dan Koperasi Produsen Unit Desa Makmur Jaya Labusel mengajukan uji materi terhadap Pasal 110A ayat (1) dan Pasal 110B ayat (1) UU 18/2013 yang telah diubah oleh UU Cipta Kerja. Mereka berargumen bahwa ketentuan tersebut melanggar hak konstitusional mereka sebagai pemilik hak atas tanah.

Pakar hukum kehutanan, Sadino, menyatakan bahwa permasalahan izin terkait bisnis perkebunan kelapa sawit merupakan permasalahan administrasi. Jika ada permasalahan izin, seharusnya dikenakan sanksi administratif, bukan pidana. Ia merujuk pada Pasal 110A UU Cipta Kerja yang memberikan waktu tiga tahun bagi pelaku usaha untuk menyelesaikan perizinan mereka.

Meski demikian, Walhi menilai bahwa pemberian waktu tiga tahun tersebut justru memberikan peluang bagi pelaku usaha untuk melegalkan aktivitas ilegal mereka di kawasan hutan. Uli Arta Siagian dari Walhi menyoroti bahwa kebijakan ini berpotensi menjadi ruang transaksional antara korporasi dan elit politik, terutama menjelang tahun politik.

Selain itu, terdapat kekhawatiran bahwa individu atau kelompok tani yang memiliki lahan di kawasan hutan juga dapat dimanfaatkan oleh korporasi untuk mendapatkan pengampunan. Beberapa individu diketahui memiliki kebun sawit lebih dari 25 hektare di kawasan hutan, yang menimbulkan pertanyaan mengenai kepemilikan dan pengelolaan lahan tersebut.

Di Papua, masyarakat adat juga menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap UU Cipta Kerja. Mereka menegaskan akan terus mempertahankan hutan Papua dari eksploitasi yang tidak bertanggung jawab. Pemerintah, melalui Menteri LHK, menyatakan bahwa UU Cipta Kerja masih mewajibkan perusahaan sawit untuk membangun plasma sebesar 20% dari luas konsesi mereka.

Namun, implementasi di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak perusahaan yang belum memenuhi kewajiban tersebut. Hal ini menambah daftar panjang konflik lahan antara perusahaan dan masyarakat adat. Pemerintah diharapkan dapat lebih tegas dalam menegakkan aturan dan memastikan hak-hak masyarakat adat terlindungi.

Sementara itu, Mahkamah Konstitusi (MK) menerima permohonan uji materi terhadap Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja. MK memberikan nasihat kepada pemohon untuk menguraikan secara jelas mengenai kerugian hak-hak konstitusional yang dialami akibat berlakunya pasal-pasal tersebut.

Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya mengakomodasi kepentingan korporasi, tetapi juga melindungi hak-hak masyarakat adat dan lingkungan. Transparansi dan partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan menjadi kunci untuk mencapai keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan.

Selain itu, penegakan hukum yang konsisten dan adil diperlukan untuk mencegah terjadinya konflik lahan yang berlarut-larut. Pemerintah harus memastikan bahwa sanksi yang diberikan kepada pelaku pelanggaran sesuai dengan tingkat kesalahan dan dampak yang ditimbulkan.

Dengan demikian, diharapkan pengelolaan kawasan hutan di Indonesia tidak hanya berorientasi pada kepentingan investasi semata, tetapi juga memperhatikan keberlanjutan ekosistem dan keadilan sosial bagi masyarakat yang telah lama bergantung pada hutan.

Perhatian juga datang dari organisasi internasional. Global Forest Watch, dalam laporan 2023-nya, mencatat bahwa Indonesia termasuk dalam lima besar negara dengan kehilangan hutan tropis primer terbesar. Pada 2022 saja, Indonesia kehilangan sekitar 230.000 hektare hutan primer, yang sebagian besar disebabkan oleh ekspansi perkebunan dan konsesi industri.

Temuan ini memperkuat kekhawatiran bahwa kebijakan seperti Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja justru menjadi insentif untuk pembukaan hutan secara ilegal yang kemudian bisa dilegalkan. Padahal, Indonesia sebelumnya mendapatkan apresiasi dunia internasional atas penurunan angka deforestasi dalam beberapa tahun terakhir.

Pakar kehutanan Universitas Gadjah Mada, Bambang Hero Saharjo, mengingatkan bahwa pemerintah harus berhati-hati dalam mengimplementasikan pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja. Menurutnya, pengampunan atau legalisasi tidak boleh menjadi alat pembenaran atas perusakan lingkungan. "Restorative justice tidak berarti impunitas," ujarnya dalam diskusi publik akhir 2023.

Masalah lain adalah lemahnya pengawasan dan validasi terhadap pengajuan izin yang masuk melalui skema Pasal 110A. Laporan Walhi dan ICW (Indonesia Corruption Watch) pada 2023 menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan yang memanfaatkan pasal ini memiliki rekam jejak pelanggaran lingkungan dan tumpang tindih lahan dengan wilayah adat.

Pemerintah melalui KLHK mengklaim telah memverifikasi lebih dari 1.500 permohonan legalisasi lahan di kawasan hutan hingga awal 2024. Namun hanya sebagian kecil yang disetujui, sementara sisanya masih dalam proses evaluasi. KLHK menyebutkan proses verifikasi dilakukan dengan ketat dan melibatkan unsur KPK, Kejaksaan Agung, dan Ombudsman.

Namun demikian, masyarakat sipil mendesak agar seluruh proses tersebut dilakukan secara transparan dan partisipatif. "Tidak boleh hanya kementerian yang menilai. Masyarakat adat, akademisi, dan organisasi independen harus ikut dalam verifikasi," kata Khalisah Khalid dari Walhi.

Jika tidak ditangani secara tepat, konflik lahan bisa menjadi bom waktu sosial, terutama di wilayah seperti Kalimantan, Papua, dan Sumatra, di mana konsesi industri seringkali tumpang tindih dengan wilayah adat dan hutan lindung.

Dengan berakhirnya masa tenggat pengajuan legalisasi pada 2 November 2023, sorotan kini mengarah pada langkah pemerintah selanjutnya: apakah akan bertindak tegas terhadap pelaku usaha yang gagal menyelesaikan izin, atau kembali memberikan toleransi? (RSDM/ Ow)




«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post