RISDEM, Cianjur - Tarikh Tasyri' merupakan salah satu kajian penting yang membahas sejarah legislasi pembentukan hukum syari’at Islam, asas tasyri' dalam al-Qur’an, penetapan dan sumber hukum pada Nabi, para sahabat dan fuqaha’ dalam generasi pertama. Tumbuhnya golongan politik dan pengaruhnya atas perkembangan hukum Islam masa berikutnya. Sehingga muncullah istilah- istilah fiqh dan tokoh-tokoh mujtahid, serta pembaruan pemikiran hukum pada masa pasca kejumudan dan reaktualisasi hukum Islam di dunia Islam. Oleh karena itu, untuk membuka jalan menuju destinasi serta mengetahui urgensinya, maka perlu sebuah kajian dan pembahasan dalam memahami fiqh Islam dengan bentuk kajian ilmiah sesuai dengan metodologi penyelidikan tentang definisi syari’at, fiqh, periodisasi perkembangan hukum Islam, sumber-sumber hukum Islam serta mazhab-mazhab fiqh. Namun dalam pembahasan makalah ini akan lebih difokuskan terhadap pembahasan periodisasi taqlid dan jumud. Perkembangan hukum Islam berkembang sejalan dengan perkembangan dan ekspansi wilayah melalui kontak budaya Islam dengan masyarakat setempat. Di antara kegemilangan perkembangan hukum Islam, tentu saja ada kalanya perkembangan hukum Islam menurun. Periode itu disebut dengan periode taqlid dan jumud. Periode ini dimulai sejak abad 4 Hijriyah atau sejak dinasti Abbasiyah berada di ambang kehancuran. Pada masa ini pula terjadi banyak ketidakstabilan di dalam tubuh umat Islam sendiri. Hal tersebut yang melatar belakangi kemunduran perkembangan hukum Islam ini. Didalam makalah ini kami akan mengupas tentang konsep tasyri’ pada periode taklid dan jumud, penyebab terjadinya taklid dan jumud, dan tokoh ulama termasyhur serta karyanya pada periode taklid dan jumud.
PENDAHULUAN
Periode ini dimulai dari abad 10-11 M (310 H) sejak berakhirnya kekuasaan Bani Abbas sampai abad ke 19. Periode ini, ditandai dengan menyebarkan pusat-pusat
kekuasaan Islam di beberapa wilayah, sehingga umat Islam sendiri
dapat dikatakan dalam kondisi yang lemah dan berada dalam kegetiran. Dalam kondisi tersebut, jika keadaan negara (daulah) lemah, maka akan muncul
banyak fitnah dan mihnah, sehingga hilanglah
pesaudaraan dan persatuan di kalangan umat Islam dan sebaliknya menjadi
permusuhan.
Pada masa ini, hukum Islam mulai mengalami stagnasi
(jumud). Hukum Islam tidak lagi digali dari sumber utamanya (al-Qur’an dan
Sunnah), para ulama pada masa ini lebih banyak sekedar mengikuti dan mempelajari pikiran
dan pendapat dalam
mazhab yang sudah ada (taqlid).
Dari sini terlihat mulai ada
kecenderungan baru, yakni mempertahankan kebenaran mazhabnya dengan mengabaikan
mazhab lain, seolah-olah kebenaran merupakan hak prerogatif mazhab yang di
anutnya, sehingga tak salah jika masa ini merupakan fase pergeseran orientasi
dari al-Qur’an dan Sunnah menjadi orientasi kepada
pendapat ulama.
Sebagaimana diketahui, pada masa abad ke IV telah terbentuk mazhabmazhab fiqh. Namun kecenderungan yang tidak begitu baik segar dalam perkembangan fiqh yakni munculnya ketergantungan kepada mazhab dan tumbuhnya perasaan berkecukupan secara meluas dan mendalam. Para ulama berupaya menjaga pendapat mazhab fiqhnya dengan mengembangkan pemikiran mazhabnya secara internal melalui pembuatan ringkasan-ringkasan (mukhtasyar) terhadap kitab-kitab fiqh yang terlalu tebal. Bahkan, mazhab ada yang disebut mukhtasyar jiddan yang merupakan ringkasan dari ringkasan. Selain itu, para ulama pada fase ini melakukan ulasan- ulasan dan penjelasan-penjelasan (syarah) serta penjelasan dari kitab yang sudah dibuat penjelasannya (khasiyyah) terhadap kitab-kitab fiqh yang ringkas atau kurang luas, sehingga dalam proses belajar fiqh menjadi berat, yakni harus menguasai, menghafal dan menjaga seluruh isi kitab fiqh dan menjaga cara-cara (istinbath ahkam) yang ditempuh. Selain itu, aktifitas ulama juga terfokus pada pentarjihan terhadap pendapat yang berbeda-beda dalam suatu mazhab, baik itu dari segi riwayah atau pun dirayah.
PEMBAHASAN
A.
Sebab Sebab Kemunduran
Kemunduran umat Islam
disebabkan oleh dua faktor, yakni
faktor internal yangtimbul dari umat Islam itu sendiri:
1.
Ulama tidak
lagi mengambil hukum dari sumbernya yang utama, yakni alQurandan hadis, melainkan beralih ke pendapat-pendapat imam mazhab. Mereka berpendapat bahwa pendapat imam mazhab itu
sepadan dengan nash (al-Qur‟an dan Sunnah) yang tidak dapat diubah, digugat,
atau diganti.6
Berkembang serta
meluasnya khurafat, takhayyul, dan mistik di kalangan masyarakatIslam yang merusak kemurnian tauhid. Munculnya kejumudan berfikir
karena hilangnyasemangat ijtihad. Ulama mengalami
rigiditas (dingin, tidak sensitif) akibat kelesuan berfikir sehingga
tidak lagi mampu menghadapi perkembangan zaman denganmenggun
akan akal fikiran yang sehat
dan merdeka serta
bertanggung jawab. Ulamaterlalu banyak mengkaji dan sikap kagum yang berlebihan terhadap pemikiran dan pendapat ulama mazhabnya sehingga terlena dan
kehilangan kepercayaan diri, seolah-olah kemampuan mereka lebih rendah dari
ulamaulama sebelumnya. Dari sikap sepertiini, maka lahirlah anggapan:
·
Setiap
orang dewasa diwajibkan menganut salah satu mazhab fiqhdan diharamkan untuk keluar dari mazhabnya.
·
Dilarang
untuk mengambil pendapat selain pendapat imammazhab yang dianut (mencampur aduk
mazhab/talfiq
· Guru yang terdahulu pasti lebih mengetahui makna nash daripadakita.
·
Pendapat ulama mujtahid pasti benar dan
sejajar dengan syari‟at, sehingga pendapatnya sama dengan agama itu sendiri.
Para ulama
terdahulu (pendiri mazhab dan pengikutnya) sangat produktif dan kreatif,hampir
seluruh lapangan ijcihad dijajaki sehingga seolah-olah tidak memberikan
sisauntuk melakukan ijtihad untuk ulama sesudah mereka, bahkan ijtihad mereka
sudahsampai kepada hal-hal yang belum ada, dan terjadi ( fiqh iftiradhi).
2.
Munculnya ulama-ulama yang tidak mumpuni (uncapable), yakni Orang orangyang
sebenarnya tidak mempunyai kelayakan untuk berijtihad, namy,
iamemaksakan diri untukmelakukan ijtihad
dan mengeluarkan produk, hukumdalam bentuk fatwa yang membingungkan masyarakat
3.
Adanya intervensi kekuasaan
(sultan/khalifah) yang menganjurkan agarmengikuti mazhab yang dianutnya. Hal ini sangat besar pengaruhnya,
terhadaptaklid. Disamping itu, sultan hanya akan mengangkat qadhi dan mufti yang semazhab
dengannya
4. Secara umum, pemerintahan sudah tidak memperhatikan lagi perkembangan
ilmu pengetahuan, seperti perhatian yang
pernah diberikan oleh masa Abbasiyah awal(Harun al- Rasyid, al-Amin dll). Khalifah lebih banya menghambur-hamburkanhartanya untuk berpesta pora dan maksiat.
5.
Kesatuan dan keutuhan
pemerintahan Islam telah pecah, hal ini menyebabkanmenurunnya kewibawaan
pengendalian perkembangan hukum. Bukan hanyadikalangan penguasa pemerintahan,
tenyata antara ulamapun terjadi persainganyang tidak sehat yang menyebabkan
diantara mereka saling menghasut.
6.
adanya fatwa yang
menyatakan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup, dan cukuplah berpegang teguh
pada ijtihad-ijtihad yang telah dilakukan oleh ulama terdahulu.
7.
Munculnya kesenangan masyarakat kepada harta secara berlebihan(materialistik).
8.
munculnya saling
curiga antar pengikut
mazhab, bahkan saling
menghina yangtujuannya untuk meninggikan mazhab yang dianutnya
42 merendahkan mazhabyang lainnya, misalnya:
·
Para pengikut Imam Hanifah menghina
pengikut Mazhab Syafi‟i
yang manyebut bahwa Imam Syafi‟i
bukan keturunan Quraisy, tetapi
keturunan budak-budak Quraisy.ii.
· Pengikut Imam Malik mengatakan bahwa Imam Syafi‟I adalah pembantu
Imam Malik.
·
Pengikut Imam Syafi‟I mengatakan
bahwa Ahmad binHambal adalah
pembantu Imam Syafi'i
Bahkan, yang paling ironis mereka tak segan memalsukan hadismaudhu‟ seperti :
· Para pengikut Hanafi meriwayatkan bahwa Nabi bersabda :
“Suatu waktu akan ada diantara umatku yang bernama
Namun, ia adalah pelita umatku. Dan akan ada puladiantara umatku
yang bernama Muhammad Idris, dia lebih menyulitkan umatku daripada iblis”
•
Pengikut Ahmad bin Hanbal meriwayatkan
bahwa Nabi bersabda:
“Akan diantara umatku yang
bernama Ahmad bin Hanbal, ia akan menjalankan sunnahku seperti para nabi.”
• Imam
Ghazali pun terperangkap dalam kondisi seperti ini,sebagaimana yang ditulis
dalam kitab al-Manqul "Abu Hanifah tidak termasuk mujtahid karena ia tidak
mengerti bahasa Arab dan tidak mengerti hadis”.
Sementara
faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya kemunduran dankevakuman adalah:
1)
Bangkitnya
kalangan kristen Eropa
(renaisance) yang menyebabkan pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan di kalangan mereka. ”
2)
Adanya serbuan bangsa Mongol yang
meluluh-lantakan peradaban Islam, yang berabad- abad lamanya dibangun.
3)
Munculnya beberapa negara baru, baik di
Eropa maupun di belahan dunia lain,seperti Afrika, Timur Tengah, dan Asia.
Keadaan demikian membawa kepadaketidak stabilan politik yang berpengaruh pada
perkembangan pemikiran
B. Tertutupnya
pintu ijtihad
Tidak dapat dipastikan kapan isu tertutupnya
pintu ijtihad muncul kepermukaan
dansiapa pula yang pertama kali menggagaskannya. Pertanyaan inilah yang
diajukan FazlurRahman ketika membicarakan satu sub ijtihad pada abad-abad
kemudian dalam bukunya Islamic Methodologiy in Historiy. Hallaq juga
menyinggungnya dalam salah satutulisannya dengan menyatakan, ungkapan insidad
bab al-ijtihad menunjuk-kan pengertiantidak jelasnya pelaku yang menutup pintu
ijtihad dan kepada siapa pintu ijtihad itutertutup.
Fazlur Rahman menyimpulkan dalam
bukunya, walaupun secara formal pintu ijtihadtidak pernah ditutup oleh siapapun
juga atau oleh siapapun juga yang memiliki otoritasyang besar di dalam Islam
namun suatu keadaan secara lambat laun namun pasti melandadunia Islam dimana
seluruh kegiatan berpikir secara umumnya terhenti.
Rahman juga menganalisis klaim bahwa
pintu ijtihad telah tertutup lebih disebabkanmerebaknya taqlîd yang telah
menjadi fenomena massal. Taqlîd atau menerima otoritassecara mentah-mentah berkembang
sedemikian suburnya, sehingga secara praktis ijtihad menjadi tidak ada. Mula-mula
taqlîd ini disarankan kepada orang-orang awam, walaupunakhirnya diakui bahwa
orang-orang awam pun cukup memiliki kesanggupan untukmenilai dan memilih di
antara pandangan- pandangan yang berbeda. Tetapi di kemudianhari taqlîd ini
meliputi semua anggota masyarakat muslim.
Joseph Schacht melihatnya dari sisi
lain, menurutnya sejak awal abad IV H/ X M.,hukum Islam telah dielaborasikan
sedemikian detail sehingga fukaha sampai padakesimpulan bahwa seluruh
pertanyaan esensial telah dibahas dan dijawab. Ini menurutnyaadalah alasan bagi
munculnya pertanyaan tentang siapa orang yang cukup qualified untukmelakukan
ijtihad. Alasan ini juga digunakan untuk menyatakan bahwa pintu ijtihad telahtertutup.
Schacht menambahkan bahwa pada
masamasa sebelumnya, khususnya padasatu setengah abad pertama Islam, tidak
pernah muncul pertanyaan yangmempermasalahkan hak para ulama untuk menggunakan
caranya sendiri dalam berijtihad.12 Pendapat ini diikuti sarjana-sarjana barat
lainnya seperti J.N.D. Anderson dan Noel J. Caulson.
Satu hal yang sulit untuk dibantah,
menjelang akhir abad VI H./ XII M. dan awalabad berikutnya, seluruh karya yang
komprehensif mengenai teori hukum, Usûl al-Fiqh,hampir bisa dipastikan
menyediakan satu bab khusus yang membahas soal kontroversimengenai mungkin
tidaknya mujtahid ada pada setiap zaman (khulûwu al-asr „an al-mujtahidîn).
Tidak itu saja diskursus yang berkembang pada saat itu
jugamenyangkutsyarat-syarat mujtahid dan masalah kemungkinan benar dan salah
(al-musawwibah wa al- makhatti‟ah)
bagi mujtahid dalam ijtihadnya.
Untuk masalah pertama, al-Razi (w. 606
H./1209 M.) menyatakan kemungkinantidak adanya mujtahid pada suatu masa, karena
manusia pada waktu itu berada dalamkebodohan. Argumentasi yang mereka ajukan
berangkat dari sebuah hadis Rasul yangmenyatakan bahwa Allah SWT akan mencabut
ilmu dari muka bumi ini denganmewafatkan ulama, sehingga yang tinggal adalah
orang- orang yang bodoh. Ketikamuncul masalah orang bodoh inipun berfatwa yang menyesatkan
umat.Menyangkut syarat-syarat mujtahid, al-Gazali juga telah merumuskan dua syarat
penting. Pertama,menyangkut kemampuan intelektual;dan kedua, menyangkut
integritas pribadi. Yang penting untuk
dicatat, implikasi dari rumusan syarat ini adalah semakinterseleksinya
orang-orang yang akan berijtihad yang pada gilirannya akan membawa pada keyakinan
bahwa tidak adanya orang- orang yang memenuhi kriteria tersebut. Halini semakin
diperburuk dengan lahirnya konsep musawwibah wa al - mukhatti‟ah yangmelahirkan perasaan
takut para ulama untuk melakukan ijtihad.
Mereka
yang berpendapat bahwa pintu ijtihad tertutup beralasan, bahwa:
1.
Hukum Islam, baik dalam bidang ibadah, muamalah, munakahat, jinayat, dan
sebagainya, seluruhnya telah lengkap dan dibukukan secara terperinci dan rapi,
sehingga tidak tidak perlu lagi adanya ijtihad baru.
2.
Mayoritas Ahl al-Sunnah hanya mengakui mazhab empat, oleh karenanya tiap-tiap
yang menganut mazhab Ahl al-Sunnah haruslah memilih salah satu mazhab saja. Ia
pun harus terikat dengan satu mazhab tersebut.
3.
Membuka pintu ijtihad, selain merupakan suatu yang sia-sia juga membuang buang
waktu.
4.
Sejak abad ke IV tidak ada seorangpun ulama yang berani menonjolkan diri
sebagai mujtahid mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa mulai saat itu syarat syarat
seorang mujtahid mutlak tidak mungkin terpenuhi Selain itu, golongan yang tetap
berpendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka memiliki pendapat yang berbeda,
di antaranya:
1.
Menutup pintu ijtihad berarti menjadikan hukum Islam yang semestinya lincah dan
dinamis menjadi kaku dan beku, sehingga Islam akan ketinggalan zaman, karena
beberapa permasalahan yang muncul justru terkadang tidak ada dalam al-Qur’an,
hadis, atau kitab- kitab fiqh.
2.
Menutup pintu ijtihad berarti menutup kesempatan ulama Islam untuk menciptakan
pemikiran-pemikiran yang baik dalam memanfaatkan dan menggali sumber atau dalil
hukum Islam.
3. Dengan terbukanya pintu ijtihad, maka setiap permasalahan umat dapat diatasi dan diselesaikan. Dengan demikian, hukum Islam akan selalu berkembang dan sesuai dengan kondisi masyarakat.
C. Ulama-Ulama yang Muncul Pada Periode
Jumud
Pada periode jumud, ada beberapa ulama yang sesungguhnya
secara kualitatif memenuhi kriteria mujtahid mutlak, kalau dilihat dari
metodologi pemikiran mereka, khususnya dalam masalah hukum Islam. Namun, karena
sikap ketawadhu-annya, mereka mengikatkan diri dengan mazhab tertentu yakni :
• Imam
Ibn Hazm (384 – 456 H)
• Imam
Ghazali adalah Abu Hamid ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Taus Ahmad at- Tusi
Asy-Syafi’I
• Imam
Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahamad Ibn Taimiyah
KESIMPULAN
Sejak berakhirnya kekuasaan Bani Abbas
sampai abad ke 19. Periode ini, ditandai dengan menyebarkan pusat-pusat
kekuasaan Islam di beberapa wilayah, sehingga umat Islam sendiri dapat
dikatakan dalam kondisi yang lemah dan berada dalam kegetiran.
Sebagaimana diketahui, pada masa abad
ke IV telah terbentuk mazhab mazhab fiqh. Namun kecenderungan yang tidak begitu
baik segar dalam perkembangan fiqh yakni munculnya ketergantungan kepada mazhab
dan tumbuhnya perasaan berkecukupan secara meluas dan mendalam.4 Para ulama
berupaya menjaga pendapat mazhab fiqhnya dengan mengembangkan pemikiran
mazhabnya secara internal melalui pembuatan ringkasan-ringkasan (mukhtasyar)
terhadap kitab-kitab fiqh yang terlalu tebal. Bahkan, mazhab ada yang disebut
mukhtasyar jiddan yang merupakan ringkasan dari ringkasan. Selain itu, para
ulama pada fase ini melakukan ulasan- ulasan dan penjelasan-penjelasan (syarah)
serta penjelasan dari kitab yang sudah dibuat penjelasannya (khasiyyah)
terhadap kitab-kitab fiqh yang ringkas atau kurang luas, sehingga dalam proses
belajar fiqh menjadi berat, yakni harus menguasai, menghafal dan menjaga
seluruh isi kitab fiqh dan menjaga cara-cara (istinbath ahkam) yang ditempuh.
DAFTAR PUSTAKA
Yayan
Sopyan,Tarikh Tasyri‟:Sejarah
]Pembentukan Hukum Islam, (Depok:GramataPublishing, 2010), h. 139
Wael
B.Hallaq,”Was The Gate of Ijtihad Closed?” dalam International Journal Middle
East Studies16 (1984), hlm.20
Fazlur
Rahman, Islamic Methodology in History, (India: Adam Publishers, 1994),
hlm.149-150. Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, (India: Adam
Publishers, 1994), hlm.173
Josep
Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: Oxford University
Press:1964), hlm.69- 71.
Josep
Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: Oxford University
Press:1964), hlm.69- 71
Fakhruddin
al-Razi,al- Mahsûl fi „Ilm al -Usûl , Juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah,1988) hlm. 110
Al-Ghazali,
al-Mustafa min“Ilm al -Usul”,
(Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994)hlm. 342
Wahbah
al-Zuhaily,Usûl al-Fiqh al-Islâmî , (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), Juz. II,
hlm.1096-1105
No comments: