RISDEM, Cianjur
- Penelitian yang berjudul implementasi penerapan kurikulum pada pendidikan
dalam kesetaraan gender telah mewakili ide atau gagasan yang mencoba untuk
mengungkapkan beberapa masalah yang berkaitan dengan kesetaraan gender dalam
dunia pendidikan . karena kurikulum dikatakan efektif manakala kurikulum
tersebut dapat di implementasikan dan semua peserta didik mampu mengikutinya
tanpa adanya diskriminatif. Pada saat ini masyarakat sangat berharap agar semua
peserta didik mampu mengakses mata pelajaran dan proses pembelajaran, maka
sudah semestinya apabila kurikulum yang berlaku disekolah perlu didata bahkan
dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sebagaimana
dipahami bersama bahwa pendidikan merupakan elemen penting dalam pembangunan
karakter manusia. Melalui pendidikan, manusia mengetahui, mengenal,
melaksanakan tema, kaidah teknologi yang dirasa bermanfaat untuk kepentingan
hidupnya, melalui pendidikan pula, manusia mampu mewujudkan tujuan penciptaam
yakni dalam dimensi kehambaan dan dimensi kepemimpinan. Salah satu tujuan
pendidikan adalah bagaimana manusia mengimplementasikan nilai-nilai keadilan
untuk sesama. PBB melalui Unesco telah menggariskan pilar pendidikan yang
terdiri dari empat hal utama, pendidikan harus ber orientasi pada how
to know (pengetahuan kognitif), how
to do (keterampilan/psikomotorik), how
to be (sikap/afeksi), dan how to live
together, hidup bersama secara damai dan santun. Salah satu aspek perbedaan
yang sering kali menyebabkan ketidak adilan adalah aspek gender. Gender secara
sederhana dapat dipahami sebagai pembedaan atas laki-laki dan perempuan
berdasarkan kontruksi sosial dan budaya. Hal ini berbeda dengan seks atau jenis
kelamin, yang membedakan laki-laki dan perempuan berdasar atas kontruksi
biologis.
Seks adalah
perbedaan antara laki-laki dan perempuan didasarkan pada bentuk biologis, maka
gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan pada
konstruk sosial budaya yang tercipta (Wahid, 2003: 123). Contoh perbedaan yang
bersifat seks adalah, jika laki-laki mempunyai jakun, kumis, penis, dan
sedangkan perempuan mempunyai payudara, pinggul besar, vagina, menstruasi dan
beranak. Sedangkan contoh dari gender
seperti laki-laki itu kuat, tabuh, pandai dan sebagainya. Sedangkan
perempuan itu lemah, cengeng, rapuh dan kurang pandai. Jadi kalau seks adalah
given, takdir dari Tuhan yang tidak bisa dirubah, lain halnya dengan gender
yang merupakan penciptaan sosial yang bisa dirubah.
Dalam konteks
agama juga seringkali mengalami bias gender, dimana terjadi praktek subordinasi
terhadap kaum perempuan. Hal ini dimungkinkan karena tiga hal, pertama adanya
teks yang memang bias gender. Kedua, adanya kesalahan interpretasi terhadap
ajaran agama. Ketiga, adanya perlakuan menyimpang dari pribadi-pribadi yang
berlindung dibalik institusi agama (Yakin, 2005: 177)
Dari paparan
tersebut dapat dipahami bahwa gender merupakan peran, sifat dan prilaku manusia
didalam kehidupan sehari-hari, yang sangat dipengaruhi oleh anggapan-anggapan
yang berkembang dalam masyarakat. Sedangkan seks adalah ciri-ciri fisik atau
genetis yang ada pada manusia, sehingga mereka bisa disebut sebagai laki-laki
atau perempuan. Karena gender didasarkan pada konstruk sosial yang tercipta
(budaya), maka gender tidak bisa dipisahkan dengan budaya itu sendiri. Karena
pada dasarnya gender dibentuk oleh kultur dalam suatu masyarakat (Muslihkati,
2004: 20). Disini pandangan gender dalam sebuah komunitas masyarakat
berbeda-beda dan bersifat relatif.
Pendidikan dasar,
sebagai upaya membangun pengetahuan, keterampilan dan sikap sejak dini menjadi
hal penting dalam sosialisasi dan penanaman keadilan gender. Namun yang terjadi
praktik pendidikan dasar, sering kali melestarikan dan memproduksi kontruksi sosial
yang bias gender. Budaya partiarkhi yang menjadi pangkal bias gender semakin diperkuat melalui institusi
pendidikan. Contoh sederhana saja, relasi kuasa dalam kelas di Sekolah Dasar,
senantiasa menempatkan laki-laki kedalam posisi yang superior, ketua kelas
misalnya. Masih jarang kita jumpai posisi ketua kelas di SD yang ditempati oleh
seorang perempuan. Hal remeh dan kecil ini menandakan bagaimana bangunan kultur
seringkali terdapat diskriminasi gender, dan ini selalu dilestarikan dari
generasi ke generasi. Disinilah, menjadi penting untuk melakukan rekonstruksi
relasi sosial dalam pendidikan dasar. Dan kurikulum kiranya menjadi aspek yang
mempunyai peran penting dalam proses rekonstruksi ini. Melalui kurikulum yang
berkeadilan gender, diharapkan akan mampu membuka ruang dialogis terhadap
pengurus utaman gender diruang pendidikan dasar secara proporsional.
Pengertian
kurikulum baik dari segi bahasa (etimologi) maupun istilah (terminologi).
Ditinjau dari segi bahasa (etimologi), kurikulum berdasar dari kata latin
curriculum, yang merupakan gabungan dari dua kata curir dan curere. Curir artinya
pelari, sedangkan curere berarti
tempat berlari atau berpacu. Pada awalnya, istilah curiculum ini digunakan
dalam dunia olahraga pada zaman Yunani Kuno (Mudhofir, 2009:3). Mengingat
filsafat dan ilmu pengetahuan berasal dari Yunani, maka istilah olahraga ini
pun akhirnya digunakan dalam bidang pendidikan.
Dalam segi istilah
atau terminologi, ada beberapa pendapat tentang istilah kurikulum ini. Secara
umum, kurikulum seringkali diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan
disekolah. Dalam UU No. 20 Tahun 2003, dijelaskan bahwa kurikulum merupakan
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar
mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Secara lebih
mudah, kurikulum dapat diartikan seperangkat atau sesuatu sistem rencana dan
pengaturan mengenai bahan pembelajaran yang dapat dipedomani dalam aktifitas
belajar mengajar. Semua pihak yang terlibat dan berkaitan langsung dengan
fungsi kurikulum ini wajib memahaminya, baik pelajar atau peserta didik yang
menjalankan kurikulum, pihak orang tua peserta didik, guru atau pendidik,
maupun pemerintah melalui sekolah maupun dinas pendidikan wajib memahami
kurikulum yang sudah diterapkan.
Bagi guru,
kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan proses pembelajaran.
Sehingga apa yang dilaksanakan oleh guru dalam proses pembelajaran, merupakan
implementasi dari pengembangan kurikulum yang telah disusunnya. Guru dalam hal
ini merupakan aktor yang memainkan skenario bernama kurikulum. Guru yang baik
pada dasarnya guru yang mampu melaksanakan kurikulum (RPP) yang telah
dibuatnya, tetap dengan melakukan improvisasi, sehingga pembelajaran bersifat
dinamis.
Komponen kurikulum
dalam hal ini berkaitan dengan unsur-unsur dasar yang selalu ada dalam
kurikulum. Mengingat kurikulum adalah seperangkat sistem, maka sistem tersebut
tentu saja terdiri dari beberapa komponen. Komponen-komponen tersebut
berhubungan dan saling berinteraksi , yang masing-masing bertugas mewujudkan
tujuan yang hendak dicapai. Ada beberapa pendapat tentang jumlah dan isi
komponen kurikulum. Namun, yang sering digunakan adalah empat komponen
kurikulum yaitu : tujuan, isi (bahan pelajaran), strategi pelaksanaan (proses
belajar mengajar), dan penilaian (evaluasi).
Penerapan
pembelajaran dalam lembaga pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa, ber akhlak baik, dan memanusiakan manusia tanpa melihat kepada jenis
kelamin tertentu. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, maka uraian
tentang prinsip-prinsp pembelajaran dengan kurikulum gender dapat dilihat
sebagai berikut:
1)
Pendidik diharapkan memiliki kesiapan untuk melaksanakan
pembelajaran yang berperspektif gender bagi mata pelajaran yang diampunya. Oleh
karena itu, para pendidik sebaiknya menajamkan perasaan mengenai gender agar
dalam pembuatan RPP dan proses pembelajaran di kelas tidak ditemukan lagi bias
gender.
2)
Pendidik memperlakukan peserta didik laki-laki dan
perempuan sama. Mereka mendapat tugas dan kesempatan yang sama untuk untuk
berkembang. Tindakan affimative bisa dilakukan apabila laki-laki atau perempuan
ada yang belum optimal dalam menggunakan kesempatan belajar. Misalkan bagi
murid perempuan diberi kesempatan untuk aktif dalam pembelajaran dengan cara
memberikan kesempatan pertama bagi murid perempuan untuk merespon dan
mengeluarkan pendapatnya dalam pembelajaran sebelum laki-laki. Pendidik
mempraktikkan kesetaraan gender dalam prilakunya dikelas, para pendidik
hendaknya tidak melakukan pelecehan secara gender terhadap murid laki-laki
maupun perempuan, baik secara tersirat maupun nyata. Pelecehan tersirat bisa
dalam bentuk kata-kata yang tidak etis, yang secara tidak langsung dapat
merendahkan martabat jenis kelamin tertentu.
3)
Tugas pendidik adalah mendidik dan bukan untuk menggurui
peserta didik. Yang harus dilakukan seorang pendidik adalah menjadi perantara
mendialogkan apa yang dikatahui dan dialami oleh peserta pendidik. Proses
belajar mengajar akan lebih efektif apabila peserta didik secara secara aktif
berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, peserta didik akan
mengalami, menghayati, dan menarik pelajaran dari pengalaman itu, dan akhirnya
hasil belajar merupakan bagian dari diri, perasaan, dan tentu saja dalam proses
seperti itu peserta didik didorong dan dikondisikan untuk lebih kreatif (Zaini,
2002: 98).
4)
Pendidik hendaknya terbuka secara akademik, menggunakan
sumber rujukan yang berspektif gender. Pendidik harus memberi muatan gender
tersendiri dalam menganalisis buku tersebut agar semakin menguatkan pengenalan
menganai gender dan tidak terjebak kembali dalam lingkaran bias gender.
Proses
pembelajaran dua arah dengan cara berdialog merupakan cara pembelajaran yang
berdasarkan pada azas kesetaraan. Proses komunikasi dalam berbagai bentuk
kegiatan belajar seperti berbagai pengalaman, menelaah wacana, diskusi, memberi
komentar kasus, dan sebagainya. Untuk membantu visualisasi beragam persoalan
yang didiskusikan dibutuhukan berbagai media, seperti wacana, gambar, film,
hand out, kertas dan alat tulis lainnya. Dengan adanya media ini memungkinkan
terjadinya dialog kritis antara semua pihak yang terlibat dalam proses
pembelajaraan mulai dari guru dan peserta didik yang berjenis kelamin laki-laki
maupun perempuan.
*Notes: Opini ditulis oleh: Berlian Sugandi Putra, Fakultas Tarbiyyah, Fakultas Tarbiyyah, STAI Al Azhary Cianjur. Segala bentuk konsekuensi tulisan merupakan tanggungjawab penulis.
No comments: