Kehidupan Awal (1902-1921)
Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di kota
Fort de Kock, yang sekarang dikenal sebagai Bukittinggi, Sumatera Barat
(Kahin:1952). Hatta merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil Djambek, adalah seorang
pedagang dan juga seorang guru agama Islam, sedangkan ibunya, Siti Saleha,
adalah putri dari seorang pemuka agama lokal. Asal usul keluarga mereka mempengaruhi
pola pikir dan kehidupan Hatta sejak dini. Latar belakang ini membekali Hatta
dengan pemahaman agama yang kuat, sekaligus melahirkan rasa nasionalisme yang
mendalam di dalam dirinya (Mrazek:1994).
Hatta mengawali pendidikannya di sekolah dasar yang
didirikan oleh ayahnya sendiri. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikan di
Hollandsch-Inlandsche School, sebuah sekolah yang didirikan oleh Belanda untuk
orang pribumi. Sejak muda, Hatta telah menunjukan ketertarikannya terhadap
politik dan kebebasan berpendapat. Sebagai salahsatu contohnya, pada saat ia
berusia 14 tahun, Hatta pernah dihukum oleh guru Belandanya karena berani mempertanyakan
kebijakan kolonial Belanda. Ini adalah awal dari perlawanannya terhadap
penjajah (Ricklefs:1991).
Pendidikan dan Keterlibatan Politik
di Belanda (1921-1932)
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Hollandsch-Inlandsche
School, Hatta melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO), sejenis sekolah menengah Belanda. Di MULO, dia terus menunjukan
ketertarikannya pada studi sosial dan politik, terutama yang berkaitan dengan
isu-isu kolonialisme dan kemerdekaan (Vickers:2005).
Dengan dorongan dari keluarga dan juga bantuan dari dr. Tjipto
mangunkusumo, seorang dokter dan nasionalis terkemuka, Hatta berangkat ke Belanda
untuk melanjutkan studinya pada tahun 1921 (Kahin:1952). Di sana, dia belajar
di Handelshogeschool (sebuah sekolah Tinggi Ekonomi), Rotterdam, mengambil
bidang perdagangan dan ekonomi. Pada masa ini, Hatta semakin memperdalam
pemahaman dan perspektifnya tentang perekonomian dan politik global
(Vickers:2005)
Selama di Belanda, Bung Hatta tak hanya fokus pada
pendidikannya saja akan tetapi juga aktif dalam gerakan politik. Dia bergabung
dalam perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang
berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Dia menjadi
sekretaris Perhimpunan Indonesiadan membantu mengorganisir berbagai acara dan
aktivitas untuk mengkampanyekan kesadaran dan semangat kemerdekaan
(Ingleson:1975)
Penangkapan dan Pembuangan (1934-1942)
Setelah menuntaskan studinya di Belanda dan kembali ke
Indonesia pada tahun 1932, Hatta bergabung dengan Partai Nasional Indonesia
(PNI) yang didirikan oleh Soekarno dan beberapa tokoh nasionalis lainnya. Namun
seiring berjalannya waktu, kepemimpinan dan pandangan politik Hatta sering kali
berbenturan dengan Soekarno. Hal ini membawa perpecahan dalam PNI dan
mengakibatkan pembentukan PNI Baru yang dipimpin oleh Hatta (Ricklefs:2008)
Meskipun demikian, perjuangan mereka untuk kemerdekaan Indonesia
tidak berhenti dan sampai pada titik menimbulkan kekhawatiran dari pemerintah
kolonial Belanda. Sehingga pada tahun 1927, Hatta dan Soekarno ditangkap oleh
Belanda kemudian Hatta diasingkan ke Boven Digul, Papua, dan kemudia ke Banda
Neira, Maluku (Anderson:2006)
Jalan Menuju Kemerdekaan (1942-1945)
Pada
tahun 1942 membawa perubahan besar dalam sejarah Indonesia. Jepang yang saat itu
sedang berperang dalam Perang Dunia II, berhasil mengalahkan Belanda dan
mengambil alih Indonesia. Saat ini, Hatta dan Soekarno dilepaskan dari
pengasingan dan diizinkan untuk kembali ke Jawa (Anderson:2006)
Hatta
dan Soekarno mengambil langkah berani dengan memutuskan untuk bekerja sama
dengan Jepang. Meskipun awalnya mereka skeptis, namun mereka memiliki harapan
bahwa kerja sama ini sebagai peluang untuk memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia. Soekarno dan Hatta menjadi penasihat pemerintah Jepang dan berusaha
mempengaruhi kebijakan Jepang agar lebih menguntungkan rakyat Indonesia
(Ricklefs:2008).
Hatta berperan penting dalam menyiapkan kemerdekaan
Indonesia. Dia bekerja untuk membangun pemerintahan sipil dan militer
Indonesia, dan juga berusaha meningkatkan kemandirian ekonomi Indonesia. Dengan
demikian, ketika Jepang menyerah pada sekutu pada Agustus 1945, Indonesia sudah
siap untuk menyatakan kemerdekaannya (Kahin:1952)
Akhirnya, pada 17 Agustus 1945, setelah melewati dinamika
yang cukup panjang, Soekarno-Hatta membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
yang menandai berakhirnya penjajahan Belanda dan Jepang, serta awal dari
Republik Indonesia. Tak lama berselang, 18 Agustus 1945, Hatta diangkat sebagai
Wakil Presiden dan juga Perdana Menteri oleh Soekarno (Cribb:2000)
*Oleh: Fikri Audah NSY
**Kritik
dan masukan terhadap tulisan ini bisa disampaikan lewat email
risdem.lsm@gmail.com
Bahan Bacaan:
Anderson, Benedict.
(2006). Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946.
Cribb, Robert. (2000).
The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali. Monash Asia
Institute.
Ingleson, John.
(1975). Road to Exile: The Indonesian Nationalist Movement, 1927-1934.
Heinemann Educational Books.
Kahin, George McTurnan.
(1952). Nationalism and Revolution in Indonesia. Cornell University Press.
Mrazek, Rudolf. (1994). Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia.
SEAP Publications.
Riclefs, Merle Calvin.
(1991). A History of Modern Indonesia Since C.1300, 2nd Edtion,
MacMillan.
Vickers, Adrian.
(2005). A History of Modern Indonesia. Cambrige University Press.
No comments: