» » PENDIDIKAN ISLAM DAN SOLUSI ATAS KONFRONTASI PANCASILA DENGAN ISLAM (1)



 Oleh : Fikri Audah NSY
Ketua RISDEM
Pendahuluan
Bila kita melihat ke dalam sejarah perjalanan Indonesia kuno (jaman kerajaan) dan modern (fase penjajahan dan pasca kemerdekaan), ‘tuduhan’ bahwa Indonesia merupakan Surga yang hilang, The Lost Atlantis, sepertinya bukan hisapan jempol semata[1].
Berbagai macam kekayaan hayati dan hewani juga hasil bumi terdapat semuanya di Indonesia, ketika orang berbicara gurun pasir dan salju maka Indonesia memilikinya, ketika berbicara intan berlian dan emas, Indonesia pun memilikinya, ketika berbica kayu hutan dan rempah-rempah Indonesia memilikinya, ketika berbicara hewan laut dan darat Indonesia kaya dengannya, pun dalam konteks sejarah kerajaan Indonesia memilikinya. Dan yang lebih berharga dari itu semua, dalam konteks keragaman pemikiran dan keagamaan, Indonesia memilikinya, sesuatu yang tidak ditemukan di belahan Negara lain termasuk Negara-negara Islam.
Indonesia memiliki akar sejarah yang kaya dalam konteks sumber daya alam dan sejarah. Mesir sebagai ‘kiblat pendidikan’ umat Islam saat ini dengan Al-Azharnya hidup bersinggungan dengan berbagai agama terutama Kristen, tetapi mesir tidak mengalami pergulatan pemikiran dengan ideology Komunis dan nasionalis dalam tahap yang sangat ekstrim sampai kepada pembunuhan dan isu kudeta, pun di Pakistan dengan Abul ‘Ala Al Maududi menuliskan kitab tebal tentang bahaya komunis, tetapi itu ‘hanya’ sekedar teori, Indonesia langsung mengalami pergulatan itu.
Bila dilihat dari sisi penduduk, Negara-negara Islam di Arab-Afrika-Asia dan sebagian Eropa hidup dengan homogenitas maka Indonesia hidup dengan Heterogenitas yang tinggi, satu Negara dengan berbagai kebudayaan dan bahasa, bahkan dalam satu provinsi-pun bahasa yang digunakan berbeda. Sehingga muncul anekdot bahwa di Timur Tengah 32 Negara itu 1 budaya, sedangkan di Indonesia 32 Budaya itu 1 Negara.
Juga dalam konteks kenegaraan dan keislaman Indonesia memiliki sejarah tersendiri yang cenderung berbeda dengan kebanyakan Negara-negara Islam lainnya, dimana Indonesia menganut sistem demokrasi langsung terbuka, dan ini melalui proses sejarah yang panjang[2].
Dicatat dalam sejarah Indonesia, bahwa Islam, Nasionalis dan Komunis senantiasa berebut pengaruh secara politis maupun sosial, bahkan sampai berebut perdana mentri dan posisi strategis lainnya di pemerintahan, sampai pada puncaknya ketika sidang Majelis Konstituante deadlock tidak memunculkan suara mayoritas yang mampu mengesahkan dasar Negara menerut ideologi yang bertarung saat itu (Islam, Nasionalis, Komunis), sampai akhirnya Presiden Soekarno Mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memerintahkan kembali kepada UUD 1945 dan menetapkan pembubaran majelis konstituante setelah hampir 2 tahun bersidang yang oleh presiden Soekarno dianggap tidak memunculkan keputusan[3].
Jarum jam perjalanan sejarah Indonesia terus berjalan, banyak konflik pemikiran dan senjata yang bermunculan akibat dari penetapan Dekrit Presiden Soekarno tersebut. Sampai pada fase reformasi dan demokrasi terbuka ini masih terdengar suara-suara untuk kembali kepada dasar Negara selain UUD 1945 / Pancasila, meskipun dengan intensitas yang kecil[4].
Selanjutnya, Komunis sebagai ideologi dan partai di Indonesia dibubarkan dan dilarang melalui Ketatapan MPRS nomor 25 tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme / marxisme – leninisme. Sehingga secara ‘resmi hanya menyisakan’ golongan Islam dan Nasionalis dalam kancah perpolitikan nasional.
Nasionalis sebagai golongan besar, dan Islam sebagai golongan besar di sisi yang lain, memberikan dampak bagi konfrontasi dua pemahaman besar ini, sehingga dikhawatirkan muncul bahwa pemahaman/ideology yang satu harus mengalahkan idiologi yang lain sebagai bentuk dari pengamalan idiologi tersebut.
Pada Masa Sekarang
Dalam satu dasawarsa belakangan ini, mulai tahun 2000-2011 Indonesia  diguncang oleh serangkaian peristiwa bom. Pemboman itu secara massif terjadi secara tersebar di sejumlah tempat. Oleh pihak otoritas keamanan (polisi) diidentifikasi pelaku bom masih saling terkait dengan peristiwa-peristiwa terdahulu, seperti gerakan Negara Islam Indonesia (NII), jaringan kekerasan bersenjata Aceh, kerusuhan Maluku dan Poso, dan kelompok Islam garis keras. Jaringan pelaku bom juga diidentifikasi berbasis ideologi Islam garis keras. Kekerasan bom di Indonesia itu diidentifikasi telah mengalami regenerasi dan modifikasi gerakan dan ideologi, baik dalam arti pelaku yang semula berkelompok dan berjejaring, kini telah bermodifikasi menjadi pelaku individu[5].
Begitu banyak media cetak dan elektronik nasional yang mengaitkan antara aksi kekerasan dan terror dengan islam dan ajaran islam, hal ini begitu kentara dari headline yang meraka munculkan seperti dalam kasus Bom Bali I dan II, juga dalam kasus Poso, juga aktifitas politik di beberapa tempat termasuk DKI Jakarta pada aksi 212 dan aksi-aksi selanjutnya[6].
Pun demikian dengan media Islam senantiasa memunculkan headline dan pembahasan bahwa semua kekacauan yang terjadi di bumi Indonesia merupakan kesalahan dari thagut-thagut yang memegang kepemimpinan dan sistem yang digunakan jauh dari aturan Islam[7].
Hal ini berdampak kepada split personality yang sebenarnya sudah jauh-jauh hari diselesaikan oleh para pendiri bangsa. Kehidupan seperti berputar kearah masa lalu dengan orang-orang jaman sekarang.
Masalah ini harus segera diselesaikan baik melalui meja mediasi / tabayyun (penyelesaian jangka pendek) maupun pemberian edukasi (penyelesaian jangka panjang). Tentu saja penyelesaian jangka pendek harus ditempuh demi menjaga agar konflik tidak berkepanjangan, dan tentu saja yang lebih penting dari itu ialah melakukan penyelesaian jangka panjang agar konflik serupa tidak muncul dikemudian hari, dan yang paling menjadi sorotan dalam hal ini ialah pola pengkaderan dalam islam baik itu melalui jalur dakwah maupun jalur sekolah, yang tentu saja pendidikan Islam mendapat sorotan tajam atas segala ‘kesalahan’ yang terjadi.
Penulis menilai bahwa Islam dan pendidikan Islam layaknya seperti gula dalam kopi, ketika racikan kopi diseduh dengan sempurna maka yang mendapat pujian setinggi langit ialah Kopi, namun ketika pahit yang dirasa maka yang menjadi ‘tersangka’ ialah gula. Dan Pendidikan Islam dalam hal ini tidak bisa membela diri melainkan harus instropeksi diri dan melakukan perbaikan.
Trauma Terhadap Pancasila dan Pendidikan Islam
          Pancasila pada praktek politik kenegaraan sepanjang era Orde Baru, telah mengalami “penyimpangan”. Di satu pihak diakui bahwa Pancasila adalah pandangan hidup resmi dalam berbangsa dan bernegara di Indonesia, namun di sisi lain Negara Orde Baru telah memperlakukan Pancasila sekedar hanya sebagai “alat pemukulbagi pihak yang kritis terhadap negara[8]. Pun dalam masa sekarang (2017) Pancasila dengan diterbitkannya Perpu No 2 Tahun 2017 menjadi sosok antagonis yang menakutkan bagi orang-orang Islam karena merasa menjadi target ‘pukul’ dari Perpu tersebut. Hal ini mengingatkan kembali pada peristiwa penerapan Asas Tunggal Pancasila sebagai dasar bagi semua kelompok di Indonesia, yang pada akhirnya banyak organisasi Islam bergugur karena penerapan Asas Tunggal tersebut. Yang pada akhirnya masyarakat khususnya sebagian dari kelompok Islam –yang jumlahnya cukup besar- enggan mendasarkan diri dan cenderung untuk meninggalkan Pancasila.
            Pemerintah bertindak cepat dengan membentuk berbagai badan khusus dan berkomunikasi dengan pihak perguruan tinggi untuk mencari solusi guna membangun jembatan antara Pancasila dan Agama (Islam) dalam kehidupan berbangsa bernegara[9] sebagai upaya sistematis untuk meredam konflik dan menciptakan suasana aman terkendali.
            Pendidikan Islam sebagai media utama pembentukan masyarakat Islam, sebenarnya telah memformulasikan konsep relasi Negara dan Agama, yang pada prakteknya sudah diterapkan pada beberapa organisasi kemasyarakan Islam. Hal ini bisa dilihat dari response organisasi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang cenderung lebih matang dalam menyikapi konflik Agama dan Negara.
            Mengenai peran Pendidikan Islam dalam pusaran berbagai konflik, Nur Khalik Ridwan menuturkan :
Pendidikan agama selalu dipertanyakan ketika dalam wacana publik muncul tindakan-tindakan kekerasan berbasiskan agama dan keyakinan; orang melihat banyaknya elit dan pejabat yang mementaskan korupsi; masih banyaknya kemiskinan, kekurangan gizi atas anak-anak; rapuhnya persatuan kebangsaan kita; dan sejenisnya. Menghadapi  soal-soal ini, dihubungkan dengan pendidikan agama, membawa pandangan adanya “kegamangan dalam pendidikn agama kita”. Orang lalu mempertanyakan: di mana peran pendidikan agama, termasuk dalam soal-soal munculnya kekerasan berbasis agama itu?
Menguraikan dan menjawab soal ini tidaklah mudah, karena masalah pendidikan dan pendidikan agama sendiri tidak sederhana; lebih-lebih persoalan kebangsaan yang kita singgung itu, jauh lebih kompleks. Belum lagi, suatu yang jelas bahwa pendidikan agama dan pendidikan nasional, menyangkut orientasi dan wawasan apa yang ingin dibangun dalam kebijakan dan desain pendidikan nasional kita; yang tidak semua orang merasa penting membicarakannya, bahkan menerima saja tanpa mempertanyakan[10].

Bersambung....


[1] Berangkat atas cerita filusuf Yunani, Plato 2.500 tahun yang lalu, Atlantis adalah peradaban yang sangat tinggi, dan sumber peradaban Barat sesungguhnya berasal dari negeri Atlantis, dengan gagasan ini Prof. Santos yang pakar fisika nuklir ini melakukan 30 tahun penelitian soal keberadaan negeri Atlantis tersebut, dan menyatakan bahwa; “Selama ini orang gagal menemukan Atlantis karena mereka mencari di tempat yang salah, tempat itu sebenarnya ada di Indonesia (lihat Arysio Nunes dos Santos, Atlantis The Lost Continent Finally Found, (Paris: Atlantis Publication,  2005).
[2] Pembahasan tema ini pernah menjadi pembahasan dalam televi Swasta Metro TV acara Today’s Dialog: Amandemen Pasal 29 UUD 1945. Dengan narasumber Dr. Daud Rasyid (Pakar Hukum Islam), Dr. Said Agil Siradj (Ketua Dewan Keagamaan PBNU), Dr. Moeslim Abdurrahman (Pengamat Politik Islam), lihat https://m.youtube.com/watch?v=Pzxx55xqKw Pt. 1-3.
[3] Agussalim Sitompul. Usaha-Usaha Mendirikan Negara Islam dan Pelaksanaan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta: Misaka Galiza, 2008) h. 320-330.
[4] Ahmad Syafii Maarif, dkk. Ilusi Negara Islam Indonesia: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009 ) h. 1-7.
[5] Hasyim Asy’ari. Relasi Negara dan Islam di Indonesia.  Jurnal Keamanan Nasional Vol. I No 1 2015, h. 41.
[8] Hasyim Asy’ari. Relasi Negara dan Islam di… h. 43
[10] Nur Khalik Ridwan. Pancasila dan Deradikalisasi Agama. Jurnal Pendidikan Islam Volume II no 1, Juni 2013. h. 174.

«
Next
Newer Post
»
Previous
This is the last post.

No comments:

Leave a Reply