RISDEM,
Bandung – Selama
satu dekade terakhir, dana desa sebesar Rp 610 triliun telah digelontorkan
dengan harapan meningkatkan kesejahteraan desa. Namun, alih-alih membawa
kemajuan, celah korupsi justru terbuka lebar, melibatkan mulai dari kepala desa
hingga elite lokal.
Dari Sumatra hingga Papua
Praktik pembangunan fiktif dan laporan
palsu menyebabkan uang rakyat menguap begitu saja. Beberapa desa mengalami
kemajuan, tetapi sebagian besar justru terseret dalam penyimpangan yang
menyisakan janji-janji pembangunan yang tak pernah terealisasi.
Hasil analisis terhadap 591 putusan
kasus korupsi Dana Desa pada rentang 2015-2024 mengungkapkan adanya 640
terdakwa dengan total kerugian negara mencapai Rp 598,13 miliar, jumlah yang
sebanding dengan anggaran bagi 744 desa. Dari total pelaku, enam dari sepuluh
di antaranya adalah kepala desa, diikuti oleh bendahara desa (10,6 persen).
Secara keseluruhan, sebanyak 81,8 persen pelaku berasal dari perangkat desa.
Modus utama yang digunakan dalam
korupsi ini meliputi laporan fiktif (59,83 persen), pembangunan dengan kualitas
di bawah standar (54,49 persen), penggelembungan anggaran (39,89 persen), serta
penyalahgunaan wewenang (44,1 persen). Korupsi paling banyak ditemukan dalam
sektor infrastruktur (83,43 persen), diikuti oleh administrasi desa,
pemberdayaan masyarakat, serta bantuan tunai.
Untuk menggambarkan bagaimana praktik
korupsi dana desa berlangsung serta ke mana aliran uangnya mengalir, berikut
sepuluh kisah yang bersumber dari putusan Mahkamah Agung.
Melarikan
Dana Desa untuk Istri Siri
Di Desa Mukut, Barito Utara,
Kalimantan Tengah, seorang bendahara desa bernama Ahyani (36) menyelewengkan
dana desa senilai Rp 167 juta untuk membiayai pelariannya bersama seorang
perempuan lain.
Kasus ini bermula pada 18 Desember
2017, saat Ahyani bersama Kepala Desa Mukut, Ahmat Sazid, menarik dana desa
tahap II sebesar Rp 337,2 juta di Muara Teweh. Uang tersebut kemudian dibagi,
dan Ahyani membawa pulang Rp 167 juta dengan alasan akan digunakan untuk
membayar proyek pembangunan pelabuhan. Namun, keesokan harinya, ia menghilang
tanpa jejak.
Ketika para pekerja proyek menagih
pembayaran, Ahmat mengutus stafnya untuk mencari Ahyani, tetapi yang ditemukan
hanya istrinya di rumah. Ahyani sempat mengirim pesan bahwa ia masih dalam
perjalanan, tetapi ia tidak pernah kembali. Sehari kemudian, pihak desa
mengadakan rapat darurat dan melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian.
Ternyata, Ahyani melarikan diri ke
lokalisasi Merong untuk menemui Aprilia Angelina alias Lia. Ia memberikan Rp 20
juta kepada Lia dan mengaku bahwa Rp 100 juta yang ia bawa berasal dari hasil
penjualan tanah. Keduanya kemudian berkelana ke Palangkaraya, Kota Batu di Jawa
Timur, hingga akhirnya ke Bali, tempat mereka menikah secara siri dan menyewa
ruko seharga Rp 28 juta untuk membuka usaha pijat. Sayangnya, bisnis ini hanya
bertahan tiga bulan sebelum bangkrut.
Pada Maret 2018, mereka kembali ke
Palangkaraya, di mana Ahyani bekerja sebagai buruh. Namun, tujuh bulan setelah
pelariannya, ia akhirnya ditangkap oleh pihak kepolisian pada Juni 2018.
Dalam persidangan, terungkap bahwa
dana yang dibawa kabur tidak hanya berasal dari anggaran pembangunan proyek,
tetapi juga mencakup setoran pajak senilai Rp 68,7 juta. Ahyani akhirnya
dijatuhi hukuman 3,5 tahun penjara, denda sebesar Rp 200 juta, serta kewajiban
mengganti kerugian negara sebesar Rp 219 juta. Jika ia gagal membayar denda
dalam waktu satu bulan, hukumannya akan ditambah dengan empat bulan kurungan.
Dana Desa Cair Asal Ada Pelicin
Praktik korupsi dana desa juga
merambah birokrat pemerintah daerah. Yestisia (36), seorang Bendahara Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) di Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah
(BPKAD) Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, menyalahgunakan wewenangnya dalam
proses pencairan dana desa.
Dalam mekanisme pencairan dana desa,
sebanyak 214 kepala desa (kades) atau perangkat desa di Kabupaten Kapuas harus
menyerahkan berkas permohonan kepada Bendahara BPKAD. Namun, sejak 2015 hingga
2018, Yestisia menjalankan praktik tidak etis dengan memungut biaya tambahan
dari para kades agar pencairan dana desa mereka diproses lebih cepat.
Jika ingin dana cair dalam waktu satu
atau dua hari, para kades harus menyisipkan uang di dalam berkas pengajuan
mereka. Besaran suap bervariasi, mulai dari Rp 50.000 hingga Rp 700.000.
Beberapa kades mengaku bahwa mereka rela mengeluarkan uang dari kantong pribadi
untuk mempercepat proses pencairan. Sebaliknya, mereka yang menolak memberikan
uang suap harus menghadapi keterlambatan pencairan hingga tiga sampai delapan
hari, dengan berbagai alasan yang sengaja dibuat oleh Yestisia.
Praktik pungli ini bukan rahasia di
kalangan kades di Kabupaten Kapuas. Uang yang dikumpulkan tidak hanya dinikmati
sendiri oleh Yestisia, tetapi juga digunakan untuk membeli makanan bagi
rekan-rekan kerjanya saat lembur di kantor, serta dibagikan kepada delapan
pegawai lain.
Setelah bertahun-tahun menjalankan
aksinya, Yestisia akhirnya dijatuhi hukuman pada Februari 2022. Ia dihukum satu
tahun penjara dan didenda Rp 50 juta. Jika denda tersebut tidak dibayar, maka
ia akan menjalani pidana kurungan tambahan selama satu bulan.
Janji Digitalisasi Berujung Korupsi
Proyek digitalisasi desa yang
diinisiasi di Konawe, Sulawesi Tenggara, ternyata berubah menjadi skandal
korupsi. Kasus ini bermula ketika Rustam (40), Direktur PT Citra Media Abadi,
mengajukan proposal untuk pelatihan dan pengadaan sistem informasi desa dengan
biaya Rp 30 juta per desa. Bupati dan Ketua DPRD setempat menyetujui program
ini, dan sebanyak 23 desa mengalokasikan dana desa untuk proyek tersebut dalam
APBDes 2017.
Setelah pencairan dana desa tahap
pertama, sejumlah Rp 690 juta dikumpulkan dan disalurkan ke Rustam melalui
perantara. Program ini menjanjikan pelatihan sebanyak 12 sesi, pengadaan
website desa, serta pendampingan selama satu tahun. Namun, realitasnya jauh
dari harapan. Sebagian desa hanya mendapatkan dua sesi pelatihan, bahkan ada
yang tidak menerima pelatihan sama sekali.
“Sampai sekarang, program ini tidak
ada manfaatnya. Saya hanya mengikuti pelatihan dua kali dan tidak bisa
mengelola website desa,” ujar Juwartin, Kepala Desa Diolo, yang hanya menerima
satu unit tablet HP Stream 8.
Pengadilan Tipikor Kendari mengungkap
bahwa Rustam hanya mengalokasikan Rp 82,38 juta untuk pelatihan seadanya,
sementara Rp 607,62 juta sisanya digunakan untuk kepentingan pribadi. Pada 23
Februari 2020, Rustam dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta.
Jika tidak mampu membayar denda, hukumannya akan bertambah empat bulan. Ia juga
diwajibkan mengembalikan Rp 607,62 juta dalam waktu satu bulan atau menghadapi
tambahan hukuman dua tahun penjara.
Dari Jalan Tani ke Jeruji Besi
Kasus ini bermula pada tahun 2017
ketika Sugiman bin Kasmin, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Desa Ambawang,
mengalokasikan dana desa untuk pembangunan jalan usaha tani. Dalam proses
pelaksanaannya, Sugiman secara langsung menunjuk CV Sumber Jati sebagai
pelaksana proyek. Perusahaan ini dimiliki oleh Verry Anggriyandi, yang
merupakan suami dari Wulandari, Sekretaris Desa Ambawang, Kecamatan Batu Ampar,
Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan.
Penunjukan langsung ini dilakukan
tanpa adanya kontrak resmi. Dalam persidangan, terungkap bahwa alasan Sugiman
memilih Verry adalah karena Wulandari menjanjikan akan membantu dalam
pengurusan administrasi proyek. Bahkan, dalam rapat perangkat desa, telah
disepakati bahwa laporan pertanggungjawaban mengenai pekerjaan fisik proyek
tersebut akan disusun oleh pasangan suami istri, Verry dan Wulandari.
"Berdasarkan kesepakatan dalam
rapat desa, pertanggungjawaban pekerjaan fisik akan dibuat oleh Saudara Verry
bersama Sekretaris Desa (Wulandari)," ungkap Suwito, selaku Kepala Urusan
Pembangunan Desa Ambawang.
Proyek ini mendapat kucuran dana
sebesar Rp 731 juta yang dicairkan dalam tiga tahap, yakni pada bulan Juni,
November, dan Desember 2017. Namun, berdasarkan hasil audit Inspektorat
Kabupaten Tanah Laut, ditemukan bahwa proyek ini tidak selesai sepenuhnya.
Pengecoran jalan hanya dilakukan sebagian, meskipun seluruh anggaran telah
dicairkan.
Dalam persidangan terungkap bahwa
Verry memberikan uang Rp 30 juta kepada Sugiman sebagai tanda terima kasih.
Uang tersebut kemudian dibagi-bagi, dengan rincian Rp 15 juta untuk bendahara
desa, Rp 5 juta untuk Wulandari, dan Rp 10 juta untuk Sugiman sendiri.
Atas perbuatannya, Sugiman divonis
satu tahun enam bulan penjara dan didenda sebesar Rp 50 juta. Ia juga
diwajibkan mengganti kerugian negara sebesar Rp 230 juta atau menjalani hukuman
tambahan selama empat bulan kurungan.
Saluran Air Tak Mengalir, Dana Desa
Disalahgunakan
Pada tahun 2017, Desa Serut
mengalokasikan Rp 100 juta dari Dana Desa untuk pembangunan saluran air bersih
yang ditujukan bagi warga Dusun Wangon dan Dawung. Namun, proyek ini ternyata
hanyalah kedok yang dimanfaatkan oleh Kepala Desa Serut, Suyono, bersama Ketua
Tim Pelaksana Pembangunan, Sunarto. Dana yang telah dicairkan tidak digunakan
sesuai dengan tujuan awalnya.
Dari total anggaran yang tersedia,
hanya Rp 20 juta yang benar-benar dipakai untuk proyek. Sementara itu, Rp 75
juta lainnya diselewengkan untuk kepentingan pribadi, termasuk digunakan untuk
membayar cicilan mobil pribadi Suyono sebesar Rp 5 juta dan berfoya-foya di
Sarkem, sebuah kawasan hiburan malam di Yogyakarta.
Agar pengeluaran dana terlihat legal,
mereka membuat dokumen pertanggungjawaban fiktif dengan menggandeng CV Berkah
Jaya sebagai kontraktor palsu. Namun, pemilik CV tersebut, Agus Priyono, tidak
pernah menerima pembayaran penuh. Saat ia menagih sisa pembayaran sebesar Rp
78,3 juta, Suyono dan Sunarto terus memberikan alasan yang berbelit-belit
hingga akhirnya Agus mencabut kembali mesin pompa air yang telah dipasang.
Kasus ini semakin rumit karena Rp 50
juta dari dana yang dikorupsi digunakan untuk menyuap aparat Kejaksaan
Gunungkidul. Tujuannya adalah agar kasus korupsi APBDes Desa Serut pada tahun
2015-2016 tidak diproses lebih lanjut.
Di pengadilan, terbukti bahwa dana
desa tidak hanya diselewengkan untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk
menghindari proses hukum. Akibatnya, Suyono dijatuhi hukuman 20 bulan penjara
serta dikenai denda sebesar Rp 50 juta.
Inspektorat dan Kepala Desa Bermain
Mata di Desa Durian
Meskipun setiap pencairan dana desa
seharusnya melalui proses verifikasi, kasus korupsi tetap terjadi secara
berulang setiap tahunnya. Bahkan, dalam beberapa kasus, aparat pengawas justru
ikut terlibat, seperti yang terjadi dalam skandal korupsi dana desa di Desa
Durian, Kecamatan Sei Balai, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, pada tahun
2018.
Kasus ini melibatkan Kepala Desa
Durian, Hariadi, serta tiga pegawai Inspektorat Batu Bara: Juono, Viktor
Hasiholan Hutabarat, dan Yandi Boy Ompusunggu. Hal ini terungkap dalam Putusan
Nomor 90/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Mdn dan 89/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Mdn.
Pada suatu pagi di bulan Agustus 2018,
Hariadi menerima kabar bahwa tim Inspektorat akan melakukan pemeriksaan laporan
keuangan dana desa. Mengetahui hal tersebut, ia menyiapkan uang sebesar Rp 3
juta setelah mendapat informasi dari kepala desa lain bahwa pemeriksaan ini
membutuhkan "pelicin."
Sekitar pukul 09.30, tim Inspektorat
tiba. Juono, selaku ketua tim, langsung masuk ke ruang Kepala Desa dan berkata,
"Sudah tahu, kan? Dana kami kosong. Bantu kami." Seusai pemeriksaan,
Hariadi menyerahkan amplop berisi uang kepada Juono, yang kemudian meminta
Yandi untuk mengambilnya. Namun, saat uang berpindah tangan, polisi segera
menangkap mereka.
Dari hasil penyelidikan, terungkap
bahwa tim Inspektorat telah mengumpulkan dana sebesar Rp 21 juta dari tujuh
desa. Juono mendapatkan Rp 1,2 juta per desa, Viktor Rp 1 juta, dan Yandi Rp
800 ribu. Sebagian uang ini digunakan untuk membiayai transportasi, makan,
serta hiburan mereka.
Dalam persidangan, mereka membantah
telah mematok tarif tertentu dan berdalih bahwa uang tersebut merupakan
kesepakatan para kepala desa. Sementara itu, Hariadi mengklaim bahwa uang
tersebut diberikan untuk konsumsi tim pemeriksa. Meskipun demikian, majelis
hakim tetap memutuskan bahwa mereka bersalah dan menjatuhkan hukuman satu tahun
penjara serta denda sebesar Rp 5 juta.
Dana Desa untuk Melunasi Utang
Kampanye
Pada tahun 2018, Bace Subarnas
terpilih sebagai Kepala Pekon atau Kepala Desa Kutawaringin, Kecamatan
Adiluwih, Kabupaten Pringsewu, Lampung. Namun, setelah terpilih, ia menghadapi
masalah finansial karena memiliki utang kampanye yang harus segera dilunasi.
Tak mampu menahan godaan, ia menggunakan dana desa sebagai solusi untuk
membayar utangnya.
Pada tahun 2019, Pekon Kutawaringin
menerima alokasi dana desa sebesar Rp 893,6 juta. Bace, bersama Sekretaris
Pekon, Suwardi bin Rubino, kemudian memotong anggaran pembangunan sebesar 20-30
persen untuk kepentingan pribadi, termasuk untuk melunasi utang kampanye
sebesar Rp 50 juta.
Untuk menghindari kecurigaan, mereka
memalsukan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) dengan menggunakan nota fiktif,
stempel palsu, serta memalsukan tanda tangan dalam laporan realisasi anggaran.
Modus korupsi yang dilakukan pun beragam, mulai dari penggelembungan harga
proyek, proyek fiktif, hingga manipulasi harga material.
Selain melakukan penggelapan dana
desa, Bace juga menjanjikan perpanjangan jabatan bagi Suwardi sebagai imbalan
atas keterlibatannya dalam kasus ini. "Jika membantu, jabatan sekretaris
desa akan diperpanjang dan mendapat kompensasi Rp 30 juta," ungkap Suwardi
dalam persidangan.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor
Tanjungkarang akhirnya menjatuhkan vonis kepada Bace berupa hukuman dua tahun
penjara, denda Rp 50 juta, serta kewajiban mengembalikan dana sebesar Rp 153,5
juta.
Tiga Serangkai Aparat Menilap Dana
Desa
Desa Babussalam, Kabupaten Lombok
Barat, Nusa Tenggara Barat, menjadi lokasi terungkapnya kasus korupsi dana desa
yang melibatkan tiga pejabat desa, yakni Kepala Desa Muhammad Zaini, Sekretaris
Desa Muksin QH, dan Bendahara Pembantu Desa Heri Irawan. Ketiganya
menyalahgunakan dana sebesar Rp 920,9 juta dengan cara memalsukan laporan
pertanggungjawaban (LPJ) periode 2018-2019. LPJ tersebut baru dibuat dengan
tergesa-gesa pada 2021, menjelang audit Inspektorat.
Agar pencairan dana berjalan tanpa
hambatan, mereka memalsukan cap suplier dan tanda tangan pejabat terkait.
Contohnya, Heri memalsukan tanda tangan Kaur Keuangan Siti Aisyah demi
memperlancar pencairan anggaran. Dari dana yang telah dicairkan, sebagian digunakan
untuk pembayaran pajak (10 persen), tim pengelola keuangan desa (10 persen),
serta kepala dusun dan RT (10 persen). Sisa anggaran kemudian dikorupsi. Selain
itu, mereka juga melakukan mark-up anggaran, termasuk dalam pengadaan tanah
untuk kantor desa dengan selisih sebesar Rp 25 juta.
Temuan Inspektorat menunjukkan adanya
ketidaksesuaian antara laporan keuangan dengan kondisi di lapangan. Beberapa
program yang tercantum dalam laporan ternyata tidak pernah direalisasikan,
seperti kegiatan gotong royong normalisasi, pengadaan meja rias, serta
pencetakan kalender tahun 2019. Bukti-bukti tersebut akhirnya menyeret
ketiganya ke pengadilan.
Dalam putusan Pengadilan Tipikor
Mataram, Zaini divonis lima tahun penjara, denda Rp 200 juta, serta diwajibkan
mengembalikan Rp 162,3 juta. Muksin menerima hukuman 5,5 tahun penjara, denda
Rp 200 juta, dan pengembalian Rp 169,2 juta. Sementara itu, Heri dijatuhi
hukuman enam tahun penjara, denda Rp 250 juta, serta pengembalian Rp 589,3
juta.
Dana Desa Ludes untuk Judi Online
Jabatan sebagai Kaur Keuangan Desa Jero Gunung, Lombok Timur, Nusa Tenggara
Barat, membawa Muhammad Agil Iqbal (27) ke dalam kasus korupsi. Sejak 2020, ia
bertugas mengelola dana desa, namun justru menyalahgunakannya untuk judi
online.
Sebagai bendahara, Agil memiliki akses
penuh terhadap anggaran desa sebesar Rp 1,4 miliar pada tahun 2022, yang
bersumber dari dana desa, alokasi dana desa (ADD), serta pajak dan retribusi
daerah. Seharusnya, dana tersebut digunakan untuk pembangunan infrastruktur,
operasional posyandu, dan program lain yang bermanfaat bagi masyarakat.
Memanfaatkan celah dalam sistem
keuangan desa, Agil mencairkan Rp 90,75 juta pada 28 April 2022 dengan dalih
untuk bantuan langsung tunai (BLT) dan tunjangan hari raya (THR) perangkat
desa. Ia kemudian memalsukan tanda tangan kepala desa serta menambahkan
pencairan dana Rp 30 juta tanpa sepengetahuan siapapun. Uang tersebut digunakan
untuk melunasi utang pribadinya.
Setelah sukses dalam pencairan
pertama, ia kembali mencairkan Rp 140 juta pada 10 Mei dan Rp 100 juta keesokan
harinya. Seluruh dana tersebut habis dipakai untuk bermain slot dan roulette.
Audit Inspektorat Lombok Timur
menemukan transaksi mencurigakan, sementara Kepala Desa Amrullah yang merasa
tidak pernah menandatangani dokumen keuangan melaporkan kejadian ini kepada
pihak berwajib. Hasil penyelidikan mengungkap bahwa Agil menggunakan rekening
orang lain untuk menyembunyikan uang yang telah diselewengkan.
Atas perbuatannya, Agil dijatuhi
hukuman enam tahun penjara, denda Rp 200 juta, serta diwajibkan mengembalikan
dana sebesar Rp 271 juta. Jika tidak dapat mengembalikan uang tersebut, asetnya
akan disita. Jika hasil lelang asetnya masih belum mencukupi, ia harus
menjalani tambahan hukuman tiga tahun penjara.
GOR Runtuh, Korupsi Dana Desa
Terbongkar
Di Desa Sebangau Jaya, Pulang Pisau,
Kalimantan Tengah, kasus penyalahgunaan dana desa kembali terjadi. Kepala Desa
Kisruh Sekartran Lestari dan Bendahara Samsul Ma’arif alias Guntur melakukan
penyelewengan anggaran dengan cara memalsukan LPJ, tanda tangan penerima upah,
kuitansi, serta mark-up volume pekerjaan dalam RAB. Program PAUD, posyandu, dan
infrastruktur dijadikan dalih untuk menutupi tindakan mereka.
Korupsi ini terbongkar setelah gedung
olahraga (GOR) desa yang dibangun dengan dana desa tahun 2020-2021 runtuh pada
26 Maret 2022, hanya beberapa bulan setelah selesai dibangun. Kejadian ini
membuat warga curiga dan melapor ke polisi. Audit Inspektorat mengungkapkan
bahwa terjadi penyimpangan volume pekerjaan dan penggunaan material berkualitas
rendah, menyebabkan kerugian negara lebih dari Rp 865 juta.
Dalam persidangan, Samsul mengakui
perbuatannya, sementara Kisruh berdalih bahwa dana tersebut digunakan untuk
membayar utang desa meskipun tanpa bukti yang sah. Fakta lain yang terungkap
dalam persidangan adalah sebagian dana desa digunakan untuk membeli barang
mewah, seperti senapan angin dan barang elektronik, yang akhirnya disita
sebagai barang bukti.
Berdasarkan bukti yang ada, pengadilan
menjatuhkan vonis empat tahun enam bulan penjara dan denda Rp 250 juta untuk
Kisruh, sementara Samsul divonis empat tahun penjara dengan denda yang sama.
Lemahnya Pengawasan
Banyaknya kasus korupsi dana desa yang
melibatkan kepala desa dan perangkatnya, menurut Kepala Pusat Studi Desa dan
Kawasan Universitas Katolik Soegijapranata Andreas Pandiangan, disebabkan oleh
lemahnya pengawasan serta rendahnya kapasitas dalam pengelolaan keuangan.
Meskipun terdapat pedoman alokasi dana desa, penerapannya di lapangan masih
menemui banyak kendala.
Ia menjelaskan bahwa korupsi tidak
selalu dilakukan dengan niat jahat, melainkan juga akibat ketidaktepatan dalam
perencanaan anggaran yang transparan. Selain itu, tingginya biaya kampanye
dalam pemilihan kepala desa sering menjadi pemicu utama tindakan korupsi karena
ada upaya mengembalikan modal setelah terpilih.
Seira Tamara, peneliti dari Indonesian
Corruption Watch (ICW), menegaskan bahwa lemahnya pengawasan mengakibatkan
banyak kasus baru terungkap bertahun-tahun kemudian. Digitalisasi anggaran desa
menjadi solusi yang diusulkan untuk meningkatkan transparansi dalam penggunaan
dana desa.
Menurutnya, pola korupsi dana desa
dari tahun ke tahun cenderung serupa, meliputi penyalahgunaan anggaran, laporan
fiktif, proyek fiktif, penggelapan, dan mark-up anggaran. Biasanya, dana yang
disalahgunakan digunakan untuk membeli rumah, kendaraan pribadi, atau memenuhi
gaya hidup mewah.
Hakim ad hoc Tipikor Pengadilan Negeri
Palangkaraya, Muji Kartika Rahayu, menyatakan bahwa vonis hukuman terhadap para
koruptor dana desa belum memberikan efek jera. Ia menilai bahwa banyak terdakwa
lebih memilih menjalani hukuman penjara dibanding membayar uang pengganti,
sementara penyitaan aset jarang dilakukan karena uang korupsi sudah habis
digunakan.
Muji menyarankan agar pengawasan dari
Inspektorat diperketat sejak tahap pencairan dana, bukan hanya saat audit
akhir. Menurutnya, pencairan dana desa sering hanya berfokus pada kelengkapan
administrasi tanpa verifikasi lapangan, sehingga laporan fiktif dan pemalsuan
dokumen marak terjadi. (RSDM/ Ow)
Sumber Artikel: Kompas, 28 Februari 2025 dengan judul 10
Tahun Dana Desa, 10 Kisah Korupsi yang Membawa Nestapa Oleh Ratna Sri Widyastuti, Satrio Pangarso Wisanggeni,
Sri Rejeki