recent/hot-posts

TRUMP ANCAM EKONOMI RI! TARIF BEA MASUK 25% BISA LUMPUHKAN INDUSTRI MEBEL

Sumber Foto: CNBC

RISDEM, Bandung – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah mengumumkan kebijakan tambahan tarif bea masuk impor yang dijadwalkan berlaku mulai 2 April 2025. Kebijakan ini menargetkan 15 negara dengan surplus perdagangan terbesar terhadap AS. Pertanyaannya, apakah Indonesia termasuk dalam daftar tersebut?

Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, bersama Penasihat Keuangan Gedung Putih, Kevin Hasset, pekan lalu menyampaikan bahwa AS berencana menaikkan tarif terhadap 15 negara yang memperoleh surplus perdagangan terbesar dari AS. Negara-negara ini disebut sebagai "Dirty 15" oleh Bessent.

Menurut data dari Biro Sensus AS, Indonesia berada di posisi ke-15 dalam daftar ini. Berdasarkan data perdagangan AS, Jakarta menikmati surplus sebesar 19 miliar dolar AS dari transaksi perdagangan dengan Washington DC pada tahun 2024.

Bagi Indonesia dan negara lainnya, surplus perdagangan merupakan keuntungan, tetapi bagi AS, hal itu justru menyebabkan defisit. Catatan dari Biro Sensus AS menunjukkan bahwa defisit neraca perdagangan AS telah melampaui 1 triliun dolar AS setiap tahun sejak 2021. Trump menilai kondisi ini sebagai bentuk kecurangan yang harus diperbaiki, salah satunya dengan mengenakan tarif bea masuk impor (Kompas.id, 25/3/2025).

Menurut Reuters, Ryan Majerus, mantan pejabat senior Departemen Perdagangan AS yang kini bekerja di firma hukum King & Spalding, menyatakan bahwa tidak peduli apakah tarif ini diterapkan pada 2 April 2025 atau setelahnya, pemerintahan AS tetap agresif dalam menginvestigasi Pasal 232. Sebelumnya, mekanisme ini telah digunakan dalam penyelidikan impor kayu dan tembaga.

Masih mengutip Reuters, pada awal Maret, Presiden Trump menginstruksikan Menteri Perdagangan Howard Lutnick untuk melakukan penyelidikan terhadap impor kayu dengan dalih keamanan nasional, berdasarkan Pasal 232 dalam Undang-Undang Perluasan Perdagangan 1962.

Penasihat Perdagangan Gedung Putih, Peter Navarro, menjelaskan bahwa penyelidikan ini bertujuan untuk menghadapi negara-negara eksportir utama, seperti Kanada, Jerman, dan Brasil.

“Negara-negara tersebut membanjiri pasar kami dengan kayu, merugikan stabilitas ekonomi dan keamanan nasional AS,” ujar Peter.

Menanggapi kebijakan ini, Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) memberikan pernyataan tegas.

Meskipun Indonesia tidak termasuk dalam daftar utama negara eksportir kayu, Indonesia tetap mengekspor produk berbasis kayu dalam bentuk mebel dan kerajinan ke AS. Oleh karena itu, penyelidikan ini dapat membawa dampak negatif bagi posisi Indonesia di pasar AS.

Ketua Umum HIMKI, Abdul Sobur, menyatakan keprihatinannya terhadap kebijakan yang dikeluarkan AS. Ia mengkhawatirkan kemungkinan dikenakannya tarif 25 persen terhadap produk kayu Indonesia, sebagaimana yang telah diterapkan pada Kanada.

“Kebijakan Trump berdasarkan Section 232 menunjukkan bahwa industri kayu dan turunannya akan dikenakan tarif 25 persen, yang dapat berdampak besar bagi Indonesia. Pemberlakuan kebijakan ini berpotensi melemahkan daya saing industri mebel dan kerajinan nasional di pasar AS, yang selama ini menjadi tujuan ekspor utama,” ujar Sobur saat dihubungi pada Jumat (28/3/2025).

Apabila tarif tersebut benar-benar diberlakukan, diperkirakan kontribusi sektor kayu dan turunannya terhadap perdagangan Indonesia akan turun 15-20 persen. “Pendapatan, lapangan kerja, kreativitas, serta pajak akan mengalami penurunan, padahal industri mebel dan kerajinan telah memberikan kontribusi ekspor yang signifikan,” tambahnya.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikumpulkan oleh HIMKI, nilai ekspor mebel dan kerajinan pada tahun 2023 mencapai 2,424 miliar dolar AS. Pada 2024, jumlah ini meningkat menjadi 2,598 miliar dolar AS.

Pada tahun 2024, ekspor mebel kayu berkontribusi paling besar, dengan nilai 1,009 miliar dolar AS atau sekitar 52,4 persen dari total ekspor. Sementara itu, mebel berbahan rotan menyumbang 157 juta dolar AS (8,2 persen), dan mebel berbasis metal mencapai 66 juta dolar AS.

AS menjadi pasar utama bagi ekspor mebel dan kerajinan Indonesia pada 2024, dengan pangsa pasar mencapai 53,76 persen untuk mebel dan 44,13 persen untuk kerajinan.

Sobur menambahkan, jika tarif impor ini diberlakukan, pemerintah Indonesia dan pelaku usaha harus segera mencari pasar alternatif. Salah satu opsi adalah memperluas pasar ekspor ke Eropa, yang merupakan pasar terbesar kedua dengan pangsa sekitar 30 persen.

Namun, regulasi ketat Uni Eropa terhadap produk berbasis kayu menjadi tantangan tersendiri bagi industri dalam negeri. Negara-negara lain yang dapat menjadi target ekspansi ekspor meliputi India, China, beberapa negara Asia Timur, dan negara-negara Timur Tengah.

Oleh karena itu, Sobur mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah strategis guna melindungi industri mebel dan kerajinan yang menyerap jutaan tenaga kerja. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah melakukan lobi diplomatik tingkat tinggi dengan AS.

“Perlu adanya pendekatan diplomatik agar produk mebel dan kerajinan nasional tetap mendapatkan akses bebas tarif ke pasar AS. Bahkan, jika memungkinkan, kita harus berupaya agar produk-produk ini bisa masuk tanpa dikenakan bea masuk, sebagai bentuk pengakuan terhadap hubungan dagang yang adil,” ungkap Sobur.

Dampak Perang Dagang

Juru bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arief, dalam pernyataannya menegaskan bahwa industri manufaktur akan semakin berkembang jika terdapat kebijakan yang berpihak pada perlindungan industri dalam negeri, terutama mengingat tingginya permintaan pasar domestik.

Meski demikian, dampak dari perang tarif global mulai dirasakan oleh industri nasional, terutama sektor yang berorientasi ekspor ke negara-negara yang terlibat dalam perang dagang.

Persaingan antara produsen manufaktur global menciptakan tantangan bagi industri dalam negeri, karena produk asing yang tidak bisa masuk ke pasar AS akibat perang tarif dapat membanjiri pasar Indonesia.

Namun, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya melindungi industri nasional dengan menerapkan kebijakan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Untuk mengendalikan impor, Kemenperin juga melakukan relaksasi peraturan impor dan menyusun kebijakan non-tariff measure.

“Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi industri nasional dari serbuan produk impor. Melindungi industri dalam negeri berarti juga melindungi 19 juta pekerja yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini,” ujar Febri.

Di tengah tantangan global, pelaku industri dalam negeri masih menunjukkan optimisme terhadap iklim usaha di Indonesia. Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada Maret 2025 masih berada dalam kategori ekspansi dengan angka 52,98, meskipun mengalami sedikit perlambatan dibandingkan bulan sebelumnya dan tahun sebelumnya.

Ekspansi IKI ini didukung oleh 21 subsektor industri yang berkontribusi besar terhadap PDB industri pengolahan nonmigas pada triwulan IV-2024, dengan total kontribusi mencapai 96,5 persen. Namun, terdapat dua subsektor yang mengalami kontraksi, yaitu industri furnitur (KBLI 31) serta industri karet, barang dari karet, dan plastik (KBLI 22).

Sementara itu, dua subsektor dengan pertumbuhan IKI tertinggi adalah industri pencetakan dan reproduksi media rekaman (KBLI 18) serta industri farmasi, produk obat kimia, dan obat tradisional (KBLI 21). (RSDM/ Ow)

Sumber Artikel: Kompas, 28 Maret 2025 dengan judul Tarif Trump Berisiko Senggol Industri Mebel Nasional Oleh Aguido Adri 

JANJI PEMBANGUNAN, NYATA KORUPSI: BAGAIMANA DANA DESA DIRAMPOK PEJABAT LOKAL

 

Sumber Foto: Times Indonesia

RISDEM, Bandung – Selama satu dekade terakhir, dana desa sebesar Rp 610 triliun telah digelontorkan dengan harapan meningkatkan kesejahteraan desa. Namun, alih-alih membawa kemajuan, celah korupsi justru terbuka lebar, melibatkan mulai dari kepala desa hingga elite lokal.

Dari Sumatra hingga Papua

Praktik pembangunan fiktif dan laporan palsu menyebabkan uang rakyat menguap begitu saja. Beberapa desa mengalami kemajuan, tetapi sebagian besar justru terseret dalam penyimpangan yang menyisakan janji-janji pembangunan yang tak pernah terealisasi.

Hasil analisis terhadap 591 putusan kasus korupsi Dana Desa pada rentang 2015-2024 mengungkapkan adanya 640 terdakwa dengan total kerugian negara mencapai Rp 598,13 miliar, jumlah yang sebanding dengan anggaran bagi 744 desa. Dari total pelaku, enam dari sepuluh di antaranya adalah kepala desa, diikuti oleh bendahara desa (10,6 persen). Secara keseluruhan, sebanyak 81,8 persen pelaku berasal dari perangkat desa.

Modus utama yang digunakan dalam korupsi ini meliputi laporan fiktif (59,83 persen), pembangunan dengan kualitas di bawah standar (54,49 persen), penggelembungan anggaran (39,89 persen), serta penyalahgunaan wewenang (44,1 persen). Korupsi paling banyak ditemukan dalam sektor infrastruktur (83,43 persen), diikuti oleh administrasi desa, pemberdayaan masyarakat, serta bantuan tunai.

Untuk menggambarkan bagaimana praktik korupsi dana desa berlangsung serta ke mana aliran uangnya mengalir, berikut sepuluh kisah yang bersumber dari putusan Mahkamah Agung.

Melarikan Dana Desa untuk Istri Siri

Di Desa Mukut, Barito Utara, Kalimantan Tengah, seorang bendahara desa bernama Ahyani (36) menyelewengkan dana desa senilai Rp 167 juta untuk membiayai pelariannya bersama seorang perempuan lain.

Kasus ini bermula pada 18 Desember 2017, saat Ahyani bersama Kepala Desa Mukut, Ahmat Sazid, menarik dana desa tahap II sebesar Rp 337,2 juta di Muara Teweh. Uang tersebut kemudian dibagi, dan Ahyani membawa pulang Rp 167 juta dengan alasan akan digunakan untuk membayar proyek pembangunan pelabuhan. Namun, keesokan harinya, ia menghilang tanpa jejak.

Ketika para pekerja proyek menagih pembayaran, Ahmat mengutus stafnya untuk mencari Ahyani, tetapi yang ditemukan hanya istrinya di rumah. Ahyani sempat mengirim pesan bahwa ia masih dalam perjalanan, tetapi ia tidak pernah kembali. Sehari kemudian, pihak desa mengadakan rapat darurat dan melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian.

Ternyata, Ahyani melarikan diri ke lokalisasi Merong untuk menemui Aprilia Angelina alias Lia. Ia memberikan Rp 20 juta kepada Lia dan mengaku bahwa Rp 100 juta yang ia bawa berasal dari hasil penjualan tanah. Keduanya kemudian berkelana ke Palangkaraya, Kota Batu di Jawa Timur, hingga akhirnya ke Bali, tempat mereka menikah secara siri dan menyewa ruko seharga Rp 28 juta untuk membuka usaha pijat. Sayangnya, bisnis ini hanya bertahan tiga bulan sebelum bangkrut.

Pada Maret 2018, mereka kembali ke Palangkaraya, di mana Ahyani bekerja sebagai buruh. Namun, tujuh bulan setelah pelariannya, ia akhirnya ditangkap oleh pihak kepolisian pada Juni 2018.

Dalam persidangan, terungkap bahwa dana yang dibawa kabur tidak hanya berasal dari anggaran pembangunan proyek, tetapi juga mencakup setoran pajak senilai Rp 68,7 juta. Ahyani akhirnya dijatuhi hukuman 3,5 tahun penjara, denda sebesar Rp 200 juta, serta kewajiban mengganti kerugian negara sebesar Rp 219 juta. Jika ia gagal membayar denda dalam waktu satu bulan, hukumannya akan ditambah dengan empat bulan kurungan.

Dana Desa Cair Asal Ada Pelicin

Praktik korupsi dana desa juga merambah birokrat pemerintah daerah. Yestisia (36), seorang Bendahara Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) di Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, menyalahgunakan wewenangnya dalam proses pencairan dana desa.

Dalam mekanisme pencairan dana desa, sebanyak 214 kepala desa (kades) atau perangkat desa di Kabupaten Kapuas harus menyerahkan berkas permohonan kepada Bendahara BPKAD. Namun, sejak 2015 hingga 2018, Yestisia menjalankan praktik tidak etis dengan memungut biaya tambahan dari para kades agar pencairan dana desa mereka diproses lebih cepat.

Jika ingin dana cair dalam waktu satu atau dua hari, para kades harus menyisipkan uang di dalam berkas pengajuan mereka. Besaran suap bervariasi, mulai dari Rp 50.000 hingga Rp 700.000. Beberapa kades mengaku bahwa mereka rela mengeluarkan uang dari kantong pribadi untuk mempercepat proses pencairan. Sebaliknya, mereka yang menolak memberikan uang suap harus menghadapi keterlambatan pencairan hingga tiga sampai delapan hari, dengan berbagai alasan yang sengaja dibuat oleh Yestisia.

Praktik pungli ini bukan rahasia di kalangan kades di Kabupaten Kapuas. Uang yang dikumpulkan tidak hanya dinikmati sendiri oleh Yestisia, tetapi juga digunakan untuk membeli makanan bagi rekan-rekan kerjanya saat lembur di kantor, serta dibagikan kepada delapan pegawai lain.

Setelah bertahun-tahun menjalankan aksinya, Yestisia akhirnya dijatuhi hukuman pada Februari 2022. Ia dihukum satu tahun penjara dan didenda Rp 50 juta. Jika denda tersebut tidak dibayar, maka ia akan menjalani pidana kurungan tambahan selama satu bulan.

Janji Digitalisasi Berujung Korupsi

Proyek digitalisasi desa yang diinisiasi di Konawe, Sulawesi Tenggara, ternyata berubah menjadi skandal korupsi. Kasus ini bermula ketika Rustam (40), Direktur PT Citra Media Abadi, mengajukan proposal untuk pelatihan dan pengadaan sistem informasi desa dengan biaya Rp 30 juta per desa. Bupati dan Ketua DPRD setempat menyetujui program ini, dan sebanyak 23 desa mengalokasikan dana desa untuk proyek tersebut dalam APBDes 2017.

Setelah pencairan dana desa tahap pertama, sejumlah Rp 690 juta dikumpulkan dan disalurkan ke Rustam melalui perantara. Program ini menjanjikan pelatihan sebanyak 12 sesi, pengadaan website desa, serta pendampingan selama satu tahun. Namun, realitasnya jauh dari harapan. Sebagian desa hanya mendapatkan dua sesi pelatihan, bahkan ada yang tidak menerima pelatihan sama sekali.

“Sampai sekarang, program ini tidak ada manfaatnya. Saya hanya mengikuti pelatihan dua kali dan tidak bisa mengelola website desa,” ujar Juwartin, Kepala Desa Diolo, yang hanya menerima satu unit tablet HP Stream 8.

Pengadilan Tipikor Kendari mengungkap bahwa Rustam hanya mengalokasikan Rp 82,38 juta untuk pelatihan seadanya, sementara Rp 607,62 juta sisanya digunakan untuk kepentingan pribadi. Pada 23 Februari 2020, Rustam dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Jika tidak mampu membayar denda, hukumannya akan bertambah empat bulan. Ia juga diwajibkan mengembalikan Rp 607,62 juta dalam waktu satu bulan atau menghadapi tambahan hukuman dua tahun penjara.

Dari Jalan Tani ke Jeruji Besi

Kasus ini bermula pada tahun 2017 ketika Sugiman bin Kasmin, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Desa Ambawang, mengalokasikan dana desa untuk pembangunan jalan usaha tani. Dalam proses pelaksanaannya, Sugiman secara langsung menunjuk CV Sumber Jati sebagai pelaksana proyek. Perusahaan ini dimiliki oleh Verry Anggriyandi, yang merupakan suami dari Wulandari, Sekretaris Desa Ambawang, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan.

Penunjukan langsung ini dilakukan tanpa adanya kontrak resmi. Dalam persidangan, terungkap bahwa alasan Sugiman memilih Verry adalah karena Wulandari menjanjikan akan membantu dalam pengurusan administrasi proyek. Bahkan, dalam rapat perangkat desa, telah disepakati bahwa laporan pertanggungjawaban mengenai pekerjaan fisik proyek tersebut akan disusun oleh pasangan suami istri, Verry dan Wulandari.

"Berdasarkan kesepakatan dalam rapat desa, pertanggungjawaban pekerjaan fisik akan dibuat oleh Saudara Verry bersama Sekretaris Desa (Wulandari)," ungkap Suwito, selaku Kepala Urusan Pembangunan Desa Ambawang.

Proyek ini mendapat kucuran dana sebesar Rp 731 juta yang dicairkan dalam tiga tahap, yakni pada bulan Juni, November, dan Desember 2017. Namun, berdasarkan hasil audit Inspektorat Kabupaten Tanah Laut, ditemukan bahwa proyek ini tidak selesai sepenuhnya. Pengecoran jalan hanya dilakukan sebagian, meskipun seluruh anggaran telah dicairkan.

Dalam persidangan terungkap bahwa Verry memberikan uang Rp 30 juta kepada Sugiman sebagai tanda terima kasih. Uang tersebut kemudian dibagi-bagi, dengan rincian Rp 15 juta untuk bendahara desa, Rp 5 juta untuk Wulandari, dan Rp 10 juta untuk Sugiman sendiri.

Atas perbuatannya, Sugiman divonis satu tahun enam bulan penjara dan didenda sebesar Rp 50 juta. Ia juga diwajibkan mengganti kerugian negara sebesar Rp 230 juta atau menjalani hukuman tambahan selama empat bulan kurungan.

Saluran Air Tak Mengalir, Dana Desa Disalahgunakan

Pada tahun 2017, Desa Serut mengalokasikan Rp 100 juta dari Dana Desa untuk pembangunan saluran air bersih yang ditujukan bagi warga Dusun Wangon dan Dawung. Namun, proyek ini ternyata hanyalah kedok yang dimanfaatkan oleh Kepala Desa Serut, Suyono, bersama Ketua Tim Pelaksana Pembangunan, Sunarto. Dana yang telah dicairkan tidak digunakan sesuai dengan tujuan awalnya.

Dari total anggaran yang tersedia, hanya Rp 20 juta yang benar-benar dipakai untuk proyek. Sementara itu, Rp 75 juta lainnya diselewengkan untuk kepentingan pribadi, termasuk digunakan untuk membayar cicilan mobil pribadi Suyono sebesar Rp 5 juta dan berfoya-foya di Sarkem, sebuah kawasan hiburan malam di Yogyakarta.

Agar pengeluaran dana terlihat legal, mereka membuat dokumen pertanggungjawaban fiktif dengan menggandeng CV Berkah Jaya sebagai kontraktor palsu. Namun, pemilik CV tersebut, Agus Priyono, tidak pernah menerima pembayaran penuh. Saat ia menagih sisa pembayaran sebesar Rp 78,3 juta, Suyono dan Sunarto terus memberikan alasan yang berbelit-belit hingga akhirnya Agus mencabut kembali mesin pompa air yang telah dipasang.

Kasus ini semakin rumit karena Rp 50 juta dari dana yang dikorupsi digunakan untuk menyuap aparat Kejaksaan Gunungkidul. Tujuannya adalah agar kasus korupsi APBDes Desa Serut pada tahun 2015-2016 tidak diproses lebih lanjut.

Di pengadilan, terbukti bahwa dana desa tidak hanya diselewengkan untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk menghindari proses hukum. Akibatnya, Suyono dijatuhi hukuman 20 bulan penjara serta dikenai denda sebesar Rp 50 juta.

Inspektorat dan Kepala Desa Bermain Mata di Desa Durian

Meskipun setiap pencairan dana desa seharusnya melalui proses verifikasi, kasus korupsi tetap terjadi secara berulang setiap tahunnya. Bahkan, dalam beberapa kasus, aparat pengawas justru ikut terlibat, seperti yang terjadi dalam skandal korupsi dana desa di Desa Durian, Kecamatan Sei Balai, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, pada tahun 2018.

Kasus ini melibatkan Kepala Desa Durian, Hariadi, serta tiga pegawai Inspektorat Batu Bara: Juono, Viktor Hasiholan Hutabarat, dan Yandi Boy Ompusunggu. Hal ini terungkap dalam Putusan Nomor 90/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Mdn dan 89/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Mdn.

Pada suatu pagi di bulan Agustus 2018, Hariadi menerima kabar bahwa tim Inspektorat akan melakukan pemeriksaan laporan keuangan dana desa. Mengetahui hal tersebut, ia menyiapkan uang sebesar Rp 3 juta setelah mendapat informasi dari kepala desa lain bahwa pemeriksaan ini membutuhkan "pelicin."

Sekitar pukul 09.30, tim Inspektorat tiba. Juono, selaku ketua tim, langsung masuk ke ruang Kepala Desa dan berkata, "Sudah tahu, kan? Dana kami kosong. Bantu kami." Seusai pemeriksaan, Hariadi menyerahkan amplop berisi uang kepada Juono, yang kemudian meminta Yandi untuk mengambilnya. Namun, saat uang berpindah tangan, polisi segera menangkap mereka.

Dari hasil penyelidikan, terungkap bahwa tim Inspektorat telah mengumpulkan dana sebesar Rp 21 juta dari tujuh desa. Juono mendapatkan Rp 1,2 juta per desa, Viktor Rp 1 juta, dan Yandi Rp 800 ribu. Sebagian uang ini digunakan untuk membiayai transportasi, makan, serta hiburan mereka.

Dalam persidangan, mereka membantah telah mematok tarif tertentu dan berdalih bahwa uang tersebut merupakan kesepakatan para kepala desa. Sementara itu, Hariadi mengklaim bahwa uang tersebut diberikan untuk konsumsi tim pemeriksa. Meskipun demikian, majelis hakim tetap memutuskan bahwa mereka bersalah dan menjatuhkan hukuman satu tahun penjara serta denda sebesar Rp 5 juta.

Dana Desa untuk Melunasi Utang Kampanye

Pada tahun 2018, Bace Subarnas terpilih sebagai Kepala Pekon atau Kepala Desa Kutawaringin, Kecamatan Adiluwih, Kabupaten Pringsewu, Lampung. Namun, setelah terpilih, ia menghadapi masalah finansial karena memiliki utang kampanye yang harus segera dilunasi. Tak mampu menahan godaan, ia menggunakan dana desa sebagai solusi untuk membayar utangnya.

Pada tahun 2019, Pekon Kutawaringin menerima alokasi dana desa sebesar Rp 893,6 juta. Bace, bersama Sekretaris Pekon, Suwardi bin Rubino, kemudian memotong anggaran pembangunan sebesar 20-30 persen untuk kepentingan pribadi, termasuk untuk melunasi utang kampanye sebesar Rp 50 juta.

Untuk menghindari kecurigaan, mereka memalsukan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) dengan menggunakan nota fiktif, stempel palsu, serta memalsukan tanda tangan dalam laporan realisasi anggaran. Modus korupsi yang dilakukan pun beragam, mulai dari penggelembungan harga proyek, proyek fiktif, hingga manipulasi harga material.

Selain melakukan penggelapan dana desa, Bace juga menjanjikan perpanjangan jabatan bagi Suwardi sebagai imbalan atas keterlibatannya dalam kasus ini. "Jika membantu, jabatan sekretaris desa akan diperpanjang dan mendapat kompensasi Rp 30 juta," ungkap Suwardi dalam persidangan.

Majelis hakim Pengadilan Tipikor Tanjungkarang akhirnya menjatuhkan vonis kepada Bace berupa hukuman dua tahun penjara, denda Rp 50 juta, serta kewajiban mengembalikan dana sebesar Rp 153,5 juta.

Tiga Serangkai Aparat Menilap Dana Desa

Desa Babussalam, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, menjadi lokasi terungkapnya kasus korupsi dana desa yang melibatkan tiga pejabat desa, yakni Kepala Desa Muhammad Zaini, Sekretaris Desa Muksin QH, dan Bendahara Pembantu Desa Heri Irawan. Ketiganya menyalahgunakan dana sebesar Rp 920,9 juta dengan cara memalsukan laporan pertanggungjawaban (LPJ) periode 2018-2019. LPJ tersebut baru dibuat dengan tergesa-gesa pada 2021, menjelang audit Inspektorat.

Agar pencairan dana berjalan tanpa hambatan, mereka memalsukan cap suplier dan tanda tangan pejabat terkait. Contohnya, Heri memalsukan tanda tangan Kaur Keuangan Siti Aisyah demi memperlancar pencairan anggaran. Dari dana yang telah dicairkan, sebagian digunakan untuk pembayaran pajak (10 persen), tim pengelola keuangan desa (10 persen), serta kepala dusun dan RT (10 persen). Sisa anggaran kemudian dikorupsi. Selain itu, mereka juga melakukan mark-up anggaran, termasuk dalam pengadaan tanah untuk kantor desa dengan selisih sebesar Rp 25 juta.

Temuan Inspektorat menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara laporan keuangan dengan kondisi di lapangan. Beberapa program yang tercantum dalam laporan ternyata tidak pernah direalisasikan, seperti kegiatan gotong royong normalisasi, pengadaan meja rias, serta pencetakan kalender tahun 2019. Bukti-bukti tersebut akhirnya menyeret ketiganya ke pengadilan.

Dalam putusan Pengadilan Tipikor Mataram, Zaini divonis lima tahun penjara, denda Rp 200 juta, serta diwajibkan mengembalikan Rp 162,3 juta. Muksin menerima hukuman 5,5 tahun penjara, denda Rp 200 juta, dan pengembalian Rp 169,2 juta. Sementara itu, Heri dijatuhi hukuman enam tahun penjara, denda Rp 250 juta, serta pengembalian Rp 589,3 juta.

Dana Desa Ludes untuk Judi Online

Jabatan sebagai Kaur Keuangan Desa Jero Gunung, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, membawa Muhammad Agil Iqbal (27) ke dalam kasus korupsi. Sejak 2020, ia bertugas mengelola dana desa, namun justru menyalahgunakannya untuk judi online.

Sebagai bendahara, Agil memiliki akses penuh terhadap anggaran desa sebesar Rp 1,4 miliar pada tahun 2022, yang bersumber dari dana desa, alokasi dana desa (ADD), serta pajak dan retribusi daerah. Seharusnya, dana tersebut digunakan untuk pembangunan infrastruktur, operasional posyandu, dan program lain yang bermanfaat bagi masyarakat.

Memanfaatkan celah dalam sistem keuangan desa, Agil mencairkan Rp 90,75 juta pada 28 April 2022 dengan dalih untuk bantuan langsung tunai (BLT) dan tunjangan hari raya (THR) perangkat desa. Ia kemudian memalsukan tanda tangan kepala desa serta menambahkan pencairan dana Rp 30 juta tanpa sepengetahuan siapapun. Uang tersebut digunakan untuk melunasi utang pribadinya.

Setelah sukses dalam pencairan pertama, ia kembali mencairkan Rp 140 juta pada 10 Mei dan Rp 100 juta keesokan harinya. Seluruh dana tersebut habis dipakai untuk bermain slot dan roulette.

Audit Inspektorat Lombok Timur menemukan transaksi mencurigakan, sementara Kepala Desa Amrullah yang merasa tidak pernah menandatangani dokumen keuangan melaporkan kejadian ini kepada pihak berwajib. Hasil penyelidikan mengungkap bahwa Agil menggunakan rekening orang lain untuk menyembunyikan uang yang telah diselewengkan.

Atas perbuatannya, Agil dijatuhi hukuman enam tahun penjara, denda Rp 200 juta, serta diwajibkan mengembalikan dana sebesar Rp 271 juta. Jika tidak dapat mengembalikan uang tersebut, asetnya akan disita. Jika hasil lelang asetnya masih belum mencukupi, ia harus menjalani tambahan hukuman tiga tahun penjara.

GOR Runtuh, Korupsi Dana Desa Terbongkar

Di Desa Sebangau Jaya, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, kasus penyalahgunaan dana desa kembali terjadi. Kepala Desa Kisruh Sekartran Lestari dan Bendahara Samsul Ma’arif alias Guntur melakukan penyelewengan anggaran dengan cara memalsukan LPJ, tanda tangan penerima upah, kuitansi, serta mark-up volume pekerjaan dalam RAB. Program PAUD, posyandu, dan infrastruktur dijadikan dalih untuk menutupi tindakan mereka.

Korupsi ini terbongkar setelah gedung olahraga (GOR) desa yang dibangun dengan dana desa tahun 2020-2021 runtuh pada 26 Maret 2022, hanya beberapa bulan setelah selesai dibangun. Kejadian ini membuat warga curiga dan melapor ke polisi. Audit Inspektorat mengungkapkan bahwa terjadi penyimpangan volume pekerjaan dan penggunaan material berkualitas rendah, menyebabkan kerugian negara lebih dari Rp 865 juta.

Dalam persidangan, Samsul mengakui perbuatannya, sementara Kisruh berdalih bahwa dana tersebut digunakan untuk membayar utang desa meskipun tanpa bukti yang sah. Fakta lain yang terungkap dalam persidangan adalah sebagian dana desa digunakan untuk membeli barang mewah, seperti senapan angin dan barang elektronik, yang akhirnya disita sebagai barang bukti.

Berdasarkan bukti yang ada, pengadilan menjatuhkan vonis empat tahun enam bulan penjara dan denda Rp 250 juta untuk Kisruh, sementara Samsul divonis empat tahun penjara dengan denda yang sama.

Lemahnya Pengawasan

Banyaknya kasus korupsi dana desa yang melibatkan kepala desa dan perangkatnya, menurut Kepala Pusat Studi Desa dan Kawasan Universitas Katolik Soegijapranata Andreas Pandiangan, disebabkan oleh lemahnya pengawasan serta rendahnya kapasitas dalam pengelolaan keuangan. Meskipun terdapat pedoman alokasi dana desa, penerapannya di lapangan masih menemui banyak kendala.

Ia menjelaskan bahwa korupsi tidak selalu dilakukan dengan niat jahat, melainkan juga akibat ketidaktepatan dalam perencanaan anggaran yang transparan. Selain itu, tingginya biaya kampanye dalam pemilihan kepala desa sering menjadi pemicu utama tindakan korupsi karena ada upaya mengembalikan modal setelah terpilih.

Seira Tamara, peneliti dari Indonesian Corruption Watch (ICW), menegaskan bahwa lemahnya pengawasan mengakibatkan banyak kasus baru terungkap bertahun-tahun kemudian. Digitalisasi anggaran desa menjadi solusi yang diusulkan untuk meningkatkan transparansi dalam penggunaan dana desa.

Menurutnya, pola korupsi dana desa dari tahun ke tahun cenderung serupa, meliputi penyalahgunaan anggaran, laporan fiktif, proyek fiktif, penggelapan, dan mark-up anggaran. Biasanya, dana yang disalahgunakan digunakan untuk membeli rumah, kendaraan pribadi, atau memenuhi gaya hidup mewah.

Hakim ad hoc Tipikor Pengadilan Negeri Palangkaraya, Muji Kartika Rahayu, menyatakan bahwa vonis hukuman terhadap para koruptor dana desa belum memberikan efek jera. Ia menilai bahwa banyak terdakwa lebih memilih menjalani hukuman penjara dibanding membayar uang pengganti, sementara penyitaan aset jarang dilakukan karena uang korupsi sudah habis digunakan.

Muji menyarankan agar pengawasan dari Inspektorat diperketat sejak tahap pencairan dana, bukan hanya saat audit akhir. Menurutnya, pencairan dana desa sering hanya berfokus pada kelengkapan administrasi tanpa verifikasi lapangan, sehingga laporan fiktif dan pemalsuan dokumen marak terjadi. (RSDM/ Ow)

Sumber Artikel: Kompas, 28 Februari 2025 dengan judul 10 Tahun Dana Desa, 10 Kisah Korupsi yang Membawa Nestapa Oleh Ratna Sri Widyastuti, Satrio Pangarso Wisanggeni, Sri Rejeki 


RUPIAH AMBRUK! ANCAMAN KRISIS 1998 KEMBALI DI DEPAN MATA?

 

Sumber Foto: CNN Indonesia

RISDEM, Bandung – Nilai tukar rupiah terus mengalami tekanan hebat hingga mendekati titik kritis yang pernah terjadi pada krisis moneter 1998. Dalam sepekan terakhir, mata uang Garuda terperosok ke level terendah sejak pandemi Covid-19, mengancam stabilitas pasar keuangan dan kepercayaan investor. Jika tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin Indonesia kembali menghadapi badai ekonomi besar. 

Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah ditutup di angka Rp 16.622 per dolar AS pada Selasa (25/3/2025). Angka ini merupakan level terburuk sepanjang 2025, dengan pelemahan mencapai 2,79 persen dibandingkan akhir tahun lalu. Lebih mengkhawatirkan lagi, rupiah kini semakin dekat dengan titik kritis Rp 16.741 yang terjadi pada April 2020 dan hanya berjarak tipis dari rekor kelam krisis 1998. 

Kondisi ini menimbulkan ketakutan besar di pasar. Saat krisis moneter 1998, rupiah pernah terjun bebas hingga Rp 16.900 per dolar AS, bahkan menyentuh Rp 17.000 pada puncaknya. Apakah skenario serupa akan terulang? Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa situasi kali ini berbeda. Direktur Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, Fitra Jusdiman, menegaskan bahwa fundamental ekonomi Indonesia lebih kuat dibandingkan 1998, meskipun tekanan dari dalam dan luar negeri masih membayangi. 

Pelemahan rupiah kali ini bukan hanya dipicu faktor eksternal seperti kebijakan proteksionisme Presiden AS Donald Trump, ketidakpastian kebijakan Federal Reserve (The Fed), serta konflik geopolitik global. Faktor domestik turut memperburuk keadaan, termasuk meningkatnya permintaan dolar untuk pembayaran dividen korporasi, ketidakpastian kebijakan fiskal, serta spekulasi atas posisi pejabat kunci ekonomi dalam pemerintahan. 

Selain itu, goncangan besar juga terjadi di pasar saham Indonesia. Pada 18 Maret 2025, Bursa Efek Indonesia (BEI) terpaksa menghentikan perdagangan sementara (trading halt) karena Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 6 persen. Investor asing ramai-ramai menarik modalnya, dengan aksi jual yang mencapai Rp 22,21 triliun sepanjang bulan Maret. Akibatnya, IHSG terperosok ke level 6.011,84—terburuk sejak 2021. 

Pakar ekonomi Syafruddin Karimi dari Universitas Andalas menilai bahwa situasi ini tidak bisa dianggap remeh. Menurutnya, reaksi teknis dari Bank Indonesia dan pemerintah belum cukup untuk meredam kepanikan pasar. Dibutuhkan strategi yang lebih jelas dan kredibel, terutama dalam menjawab keraguan investor terhadap arah kebijakan ekonomi nasional.

Tidak hanya itu, depresiasi rupiah kali ini dianggap anomali. Biasanya, saat indeks dolar AS (DXY) melemah, rupiah justru menguat. Namun, yang terjadi sekarang adalah sebaliknya: DXY turun 6,11 persen sejak Januari 2025, tetapi rupiah tetap melemah. Apa yang sebenarnya terjadi? 

Ekonom senior Mohamad Fadhil Hasan dari Indef menyoroti faktor domestik yang semakin meresahkan. Sejumlah kebijakan kontroversial pemerintah, seperti pembentukan Danantara, Koperasi Merah Putih, dan program makan gratis, dianggap memperbesar ketidakpastian fiskal. Ditambah lagi, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) semakin menggerus kepercayaan publik terhadap ketahanan ekonomi nasional. 

Di sisi lain, defisit transaksi berjalan juga semakin melebar. Pada 2024, angka defisit melonjak hingga 8,85 miliar dolar AS atau setara 0,6 persen dari PDB, jauh lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya. Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan memperkirakan bahwa defisit bisa mencapai 2 persen pada 2025, memperburuk tekanan terhadap rupiah. 

Jika kondisi ini terus berlanjut tanpa solusi konkret, rupiah bisa semakin terpuruk dan menyeret Indonesia ke jurang krisis baru. Para pelaku pasar kini menanti langkah serius dari pemerintah dan Bank Indonesia. Intervensi semata tidak cukup, diperlukan kebijakan ekonomi yang transparan, kredibel, dan dapat memulihkan kepercayaan investor sebelum semuanya terlambat. (RSDM/ Ow)

Sumber Artikel: Kompas, 26 Maret 2025 dengan judul Rupiah Terpuruk hingga Mendekati Level Krisis 1998 Oleh Agustinus Yoga Primantoro

TARIF ROYALTI SUMBER DAYA ALAM NAIK! INI DAMPAKNYA BAGI INDUSTRI PERTAMBANGAN

 

Sumber Foto: Antara

RISDEM, Bandung – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah bersiap untuk merevisi kebijakan tarif royalti atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor pertambangan mineral dan batu bara. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan kontribusi penerimaan negara serta memastikan bahwa pemanfaatan sumber daya alam berjalan secara lebih adil bagi semua pihak.

Revisi Aturan Royalti: Apa yang Berubah?

Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Julian Ambassadur Shiddiq, mengungkapkan bahwa revisi aturan royalti ini sedang dalam tahap finalisasi bersama Sekretariat Negara. Setidaknya enam komoditas tambang menjadi sorotan dalam kebijakan baru ini, yakni batu bara, emas, perak, nikel, tembaga, dan timah. Meski belum ada kepastian terkait besaran kenaikan, perubahan ini diyakini akan membawa dampak signifikan bagi industri pertambangan nasional.

Saat ini, besaran tarif royalti masih merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2022. Dalam aturan tersebut, tarif royalti ditentukan berdasarkan jenis komoditas serta mekanisme penambangan yang digunakan, seperti metode tambang terbuka (open pit) atau tambang bawah tanah (underground).

Tarif Royalti yang Berlaku Saat Ini

Beberapa ketentuan tarif royalti yang masih berlaku hingga saat ini mencakup:

  • Batu Bara: Tarif royalti berkisar antara 5% hingga 13,5% dari harga jual tergantung pada kalori dan metode penambangan.
  • Nikel: Bijih nikel dikenakan royalti 10%, sementara produk olahan seperti logam nikel hanya dikenakan 1,5% dari harga jual.
  • Tembaga: Tarif untuk bijih tembaga mencapai 5%, sementara produk olahan seperti katoda tembaga hanya dikenakan 2%.
  • Emas dan Perak: Royalti untuk emas dan perak berkisar antara 3,75% hingga 10% tergantung pada harga pasar global.
  • Timah: Produk logam timah dikenakan royalti sebesar 3%.

Dampak terhadap Industri Pertambangan

Kenaikan tarif royalti ini akan berdampak pada biaya produksi yang harus ditanggung oleh perusahaan tambang. Dengan peningkatan beban royalti, perusahaan tambang perlu menyesuaikan strategi bisnis mereka agar tetap kompetitif. Beberapa kemungkinan dampak yang bisa terjadi meliputi:

  • Kenaikan harga jual komoditas tambang akibat bertambahnya biaya produksi.
  • Penyesuaian investasi di sektor pertambangan untuk mengimbangi peningkatan beban keuangan.
  • Peningkatan penerimaan negara, yang nantinya dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan sektor lainnya.

Pemerintah berharap kebijakan baru ini dapat menciptakan ekosistem pertambangan yang lebih berkelanjutan serta memberikan manfaat maksimal bagi negara. Namun, industri tambang tentu harus bersiap menghadapi tantangan baru dalam menjalankan operasionalnya di tengah perubahan kebijakan ini. (RSDM/ Ow)